Berbagi Pengetahuan

Blog ini dibuat sebagai kliping media.

Semoga bermanfaat

Selasa, 07 Desember 2010

TRAGEDI BULAN JUNI

Berbagai persoalan selalu menghiasi dunia pendidikan negeri ini. Bangunan sekolah yang rusak tak kunjung diperbaiki, bangunan sekolah ambruk, kekerasan guru terhadap siswa, perkelahian antar pelajar, pelecehan seksual yang dilakukan oleh guru dan lain sebagainya. Semua serasa tidak ada habisnya, bertambah dan bertambah lagi.
Seabreg persoalan itu akan bertambah lagi dengan munculnya kasus tabungan siswa. Kasus ini memang hanya terjadi di beberapa tempat saja, akan tetapi sangat meresahkan wali murid. Sebab, tidak jarang uang tabungan siswa yang berjumlah ratusan juta itu terpakai oleh pengelola sekolah dan tidak jelas pertanggungjawabannya. Wali murid dibuat ketar – ketir dan khawatir memikirkan nasib uang tabungan anaknya serta bagaimana penyelesaian kasus ini.
Lantas seperti apa gambaran kasus itu? Pada kebanyakan kasus, uang tabungan yang berhasil dikumpulkan dari siswa terpakai ataupun dipinjam oleh oknum guru, ada pula yang dipinjam atau terpakai oleh kepala sekolah. Ketika tabungan akan dibagikan, oknum guru atau kepala sekolah tersebut tidak dapat mengganti uang yang dipinjam atau dipakainya. Akibatnya, tabungan siswa pun gagal dibagikan. Tidak hanya sampai di situ, ada pula oknum guru atau kepala sekolah yang mengintimidasi siswa pemilik tabungan yang  gagal dibagikan. Mereka mengancam bila siswa yang bersangkutan lapor kepada orang tuanya, maka dia tidak akan naik kelas.
Tujuan baik dibalik tabungan
Menurut pandangan penulis, tabungan siswa merupakan sarana yang tepat untuk menanamkan sikap mental yang baik bagi siswa. Setidaknya ada dua pembelajaran yang dapat dipetik, yaitu:
Pertama, dengan menabung, siswa diajarkan untuk bersikap hidup hemat. Mereka disarankan untuk menyisihkan uang saku yang diberikan orang tuanya untuk ditabung.
Kedua, ketika dituntut untuk berhemat, siswa harus jeli dan pintar mengelola uangnya. Mereka harus pintar memilah mana kebutuhan yang diperlukan hingga harus dibeli, dan mana kebutuhan yang tidak diperlukan sehingga tidak perlu dibeli. Ketika mereka pintar mengelola keuangan, mereka bisa menyisihkan sebagian uang saku mereka untuk ditabung.
Ketiga, siswa diajarkan cara menyimpan uang yang baik dan aman. Jika memiliki uang sisa jajan, mereka harus menyimpannya pada pihak yang dapat dipercaya, yang dalam hal ini adalah para guru mereka.
Das Sein Das Sollen
Tiga tujuan diatas merupakan sebuah harapan yang ingin dicapai lewat program tabungan siswa. Akan tetapi, pada tataran praktis, sering terjadi kesenjangan antara harapan dengan kenyataan di lapangan. Kesenjangan itu terjadi pula pada program tabungan siswa, di antaranya:
Pertama, sekarang ini, yang menabung di sekolah bukan lagi siswa, tetapi wali murid. Banyak dari wali murid yang  menabungkan uangnya di sekolah dengan cara menitipkan pada sang anak untuk ditabungkan. Jadi uang yang ditabungkan bukan lagi uang hasil menyisihkan uang jajan, tetapi uang yang dititipkan orang tuanya.
Kedua, wali murid cenderung berlomba-lomba memperbanyak tabungan. Terbukti banyak ditemui siswa dengan jumlah tabungan puluhan juta rupiah. Bahkan terkadang siswa dengan jumlah tabungan terbanyak mendapatkan hadiah dengan nominasi tabungan terbanyak.
Alternatif pemecahan
Untuk meminimalisir kerugian maupun korban tabungan siswa, penulis mempunyai beberapa pandangan, diantaranya;
 Pertama, lebih baik program tabungan siswa dihapuskan dari sekolah-sekolah. Ini merupakan langkah konkrit, karena dengan tidak ada uang tabungan, maka kesempatan menyalahgunakan uang tabungan pun tidak ada.
Kedua, kalaupun program tabungan siswa tetap dilaksanakan, uang tabungan harus disimpan di lembaga keuangan yang terpercaya. Dalam pembuatan rekening, komite sekolah harus dilibatkan, agar penandatanganan di buku rekening dilakukan oleh kepala sekolah dan ketua komite sekolah. Dengan begitu, siapapun yang ingin mencairkan uang tabungan yang tersimpan di bank harus sepengetahuan kepala sekolah dan ketua komite. Dengan begitu, ketika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, memudahkan meminta pertanggungjawaban.
Ketiga, wali murid yang memiliki uang, lebih baik disimpan di bank agar lebih aman. Apalagi sekarang banyak produk perbankan yang mudah diakses dan lebih simpel. Menabung tidak lagi harus datang ke bank, tapi bisa melalui lembaga yang dekat dan akrab dengan masyarakat yang telah bekerjasama dengan bank untuk menerima dana tabungan.
Selain tiga alternatif yang diungkapkan penulis, pasti masih banyak alternatif lain untuk menekan kasus penyalahgunaan uang tabungan oleh pihak-ihak yang tidak bertanggungjawab. Yang paling penting adalah tidak ada yang dirugikan baik sekolah sebagai lembaga pendidikan maupun wali murid selaku pemilik uang tabungan. Jika kasus tabungan ini tidak segera ditanggulangi, bukan mustahil akan menjadi “penyakit akut” yang menggerogoti sekolah dan menjadi targedi bulan juni yang akan terulang setiap tahun. Padahal, sekolah adalah tempat penanaman sikap dan ilmu pengetahuan bagi siswa. Jika kasus tabungan dibiarkan, tentu akan menjadi contoh yang buruk bagi siswa, dan bisa jadi malah menumbuhkan mental korup bagi generasi masa datang, naudzubillah min dzalik……

Joharul Aripin