Berbagi Pengetahuan

Blog ini dibuat sebagai kliping media.

Semoga bermanfaat

Jumat, 24 Juni 2011

Whistle Blowing, Fitnah, dan Cari Selamat


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/408366/
PDF
Print

Saturday, 25 June 2011
Pada Rabu kemarin seorang sahabat mengirim pesan kepada saya. ”Sebaiknya Andatakikut-ikutmengkritik pemerintah, fokuslah pada pembenahan tugas yudikatif dan membersihkan korupsi di lingkungan lembaga yang Anda pimpin.

Jangan sampai ada whistle blower (peniup peluit) yang ingin membantu untuk mengungkap korupsi di lembaga Andamalahdikriminalisasi,” demikian pesan itu. Pesan itu bukan hanya benar, melainkan juga bijak.Saya memang punya penyakit sulit diam dan suka terpancing oleh wartawan untuk mengkritik siapa pun yang menurut saya harus dikritik, meski masalahnya tak terkait langsung dengan tugas saya.

Jadi,pesan sahabat itu benar dan bijak. Benar dan bijak juga isi pesan itu bahwa seorang whistle blower atau pemberi informasi dan pelapor terjadinya tindak pidana harus dilindungi,jangan malah didorong ke situasi sulit karena dikriminalisasi, misalnya dituduh membuat berita bohong.

Tetapi terkait dengan whistle blowing, tanpa bermaksud meremehkan kebijakan dan nilai mulia dari pesan itu haruslah dipahami bahwa sebenarnya kita belum memiliki undang-undang tentang perlindungan bagi whistle blower. Yang kita miliki barulah UU tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang secara yuridis- konseptual tidak sama dengan whistle blower.

Meskipun begitu,demi cara berhukum yang beradab,kita harus terima keniscayaan melindungi whistle blower itu tanpa harus ada undang- undang resmi lebih dulu. Tetapi harus diingat,whistle blowing itu berbeda dengan fitnah. Whistle blowing adalah informasi terjadinya tindak pidana yang diungkap atau dilaporkan oleh seorang pengungkap (whistleblower) kepadayang berwenang atau yang berwajib agar diproses secara hukum.

Data informasinya harus akurat, laporannya harus resmi dan jelas,bukan dipidatokan atau disiarkan di media massa padahal belum ada bukti pendukungnya. Jika ada dugaan tindak pidana yang tak didukung bukti,tidak dilaporkan ke institusi yang harus bertindak dan langsung diumumkan ke publik melalui tulisan terbuka; maka hal itu jauh dari konsep yuridis tentang whistle blowing, namun cenderung memfitnah dan merongrong.

Memang bisa saja pengumuman ke publik yang tak dilaporkan langsung itu bukan fitnah dan ada benarnya.Maka itu,whistle blower yang seperti itu harus tetap dilindungi, tetapi tetap harus menjernihkan dan turut membuktikan apa yang diumumkannya kepada publik tentang terjadinya tindak pidana itu.

Caranya, beri dia fasilitas untuk membuktikan dengan caranya sendiri disertai jaminan perlindungan keamanan, baik selama maupun sesudah melakukan upaya menggali bukti-bukti itu. Kalau ternyata hasilnya hanya fitnah dan sensasi yang merongrong maka si whistle blower harus bertanggung jawab, sekurang-kurangnya secara moral, dengan mengakui bahwa apa yang diumumkannya kepada publik tidak benar.

Bagi saya, laporan yang disampaikan secara diam-diam segera ditindaklanjuti secara diam-diam, sedangkan yang dilaporkan ke publik harus pula diselesaikan secara terbuka kepada publik. Saya kira inilah cara bernegara dan berhukum yang beradab, beradab bagi yang terkena fitnah dan beradab bagi yang (mungkin) memfitnah.

Masih ada soal lain yang terkait dengan whistle blowing ini.Saya menyetujui pendapat para hakim dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pengujian UU tentang Perlindungan Saksi dan Korban, bahwa seorang pelapor yang terlibat dalam kejahatan yang dilaporkannya tetaplah harus dikenai sanksi pidana, meskipun––atas kebijaksanaan hakim, hukumannya bisa diberi keringanan.

Seperti diketahui, pada medio tahun 2010 MK memeriksa pengujian (judicial review) isi UU Perlindungan Saksi dan Korban terhadap UUD 1945. Pemohonnya meminta agar MK membatalkan sebagian isi UU tersebut sepanjang ketentuan bahwa orang yang melaporkan terjadinya kejahatan yang turut dilakukannya tetap bisa dihukum, meskipun bisa diberi keringanan.

Pemohonnya menginginkan agar pelapor atas kejahatan yang ikut dilakukannya harus dibebaskan dari hukuman. Saya mendukung pendapat para hakim MK yang menolak permohonan itu. Kalau pelapor terjadinya suatu kejahatan yang ikut dilakukannya dibebaskan dari hukuman maka bisa membuka kemungkinan munculnya pelapor yang mengaku sebagaiwhistle blower, tetapi sebenarnya hanya mencari selamat secara tidak fair.

Misalnya,bisa saja ada orang melakukan kejahatan secara bersama-sama, kemudian melaporkan kejahatan itu dengan tujuan dia sendiri selamat dari hukuman, sedangkan temantemannya dihukum.Hal seperti ini tentu bertentangan dengan asas maupun tujuan hukum, bahkan bisa menjadi celah munculnya orang yang mengajak orang lain untuk melakukan tindak pidana, untuk kemudian, setelah hasil kejahatan selesai dia melaporkan orangorang yang diajaknya melakukan kejahatan.

Memang ada pendapat lain bahwa jika pelapor tentang kejahatan yang ikut dilakukannya masih dihukum juga maka kejahatan akan sulit diungkap karena tidak akan ada orang yang mau menjadi whistle blower.

Pandangan seperti ini, menurut saya, tidak sesuai dengan filosofi perlindungan bagi whistle blower sebab argumennya tetap lebih lemah jika dibandingkan dengan risiko munculnya pelapor yang hanya ingin mencari selamat dari hukuman atas kejahatan yang ikut dilakukannya dengan mengorbankan  MOH
_orang-orang lain yang ikut atau diajak melakukan kejahatan itu. MAHFUD MD Guru Besar Hukum Konstitusi

Rabu, 22 Juni 2011

Social Enterprise

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/407908/
 Thursday, 23 June 2011
 ”Rintangan terbesar untuk perubahan sosial bukanlah lemahnya kepedulian, melainkan terlalu banyak kompleksitas.” (Bill Gates) Lama kalimat di atas saya renungi,sampai Sabtu lalu saya menerima para penggerak Sektor Ketiga di Rumah Perubahan.


”Saya memulainya karena kesel,” kata Haji Chaerudin yang biasa dipanggil Bang Idin. Berbeda dengan aktivis lain yang berdemo di tengah kota atau preman-preman etnis yang memilih gerakan dengan kekerasan, Bang Idin memilih terjun langsung ke sungai. Dia melakukan survei dengan bertengger di atas sebatang gedebong pisang dari Gunung Pangrango.

Hatinya pedih melihat aliran sungai yang melewati ibu kota diterjang bokong rumahrumah besar dan dijadikan pembuangan limbah. Dari situlah lahir komunitas yang dia beri nama Sanggabuana.Di tepi Kali Pesanggrahan di Karang Tengah, Lebak Bulus, Jakarta, dia menanam ribuan pohon keras, buah sukun, memelihara kambing, membangun komunitas pedagang ikan hias dan ikan konsumsi di Parung, dan mengolah sampah.

Hasilnya silakan Anda lihat sendiri. Bukan cuma penghijauan dan kebersihan, sebuah kegiatan ekonomi yang produktif juga mengakar hingga ke bawah. Demikian juga dengan Masril Koto di Sumatera Barat.Dia kesel melihat tak ada lagi kaum muda yang berminat menjadi petani.

Setiap petani mengajukan pinjaman modal ke bank,selalu ditolak.Dia lalu mendatangi petani satu persatu, sampai para petani menyatakan niatnya untuk berkumpul dan memiliki bank sendiri yang berakar pada budaya ninik-mamak, dan halal. Dia hanya mengajukan pertanyaan dan jawabannya ada di para petani itu sendiri.

Lain Bang Idin dan Masril Koto, lain pula Bambang Basuki. Sebagai tunanetra dan guru Sekolah Luar Biasa (SLB), dia kesal melihat tunanetra lebih dilihat sebagai hambatan dan constraint.Padahal tunanetra bisa memberi kontribusi yang besar. Ada kesamaan antara mereka bertiga dan social entrepreneur lain yang bergabung dalam asosiasi yang kebetulan saya pimpin: Asosiasi Kewirausahaan Sosial Indonesia (AKSI).

Mereka semua kecewa terhadap ribetnya sistem yang gemuruh suara konflik politis tak berujung. Sektor pertama, yaitu public sector (pemerintah) yang diharapkan berperan ternyata terbelenggu birokrasi dan hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi.Sektor kedua, yaitu dunia usaha, hanya sibuk mengurus dirinya sendiri.

Dana CSR (corporate social responsibility) masing-masing perusahaan yang besarnya luar biasa ternyata masih terlalu sedikit yang bisa disalurkan. Orang-orang yang ditugaskan mengemban misi CSR terlihat bingung mengelola dana yang besar dan sulit dihabiskan. Mau diserahkan pada pihak ketiga kok terkesan kurang rela.

Sistem yang ada belum mendukung. Tetapi,kekecewaan mereka tentu bukan diungkapkan dengan berbicara, membuat keonaran, atau mencaci maki orang-orang yang berkuasa. Mereka memilih bekerja kecilkecilan, yang penting ada hasilnya. Lantas apa bentuknya?

Entrepreneurship Solution

Dalam literatur social entrepreneurship, gerakan yang dilakukan para wirausahawan sosial ini disebut sebagai Sektor Ketiga. Sejak 2006, di Inggris bahkan telah dibentuk Office of the Third Sector, yang dilanjutkan dengan terbentuknya Badan Riset Sektor Ketiga.

Di masa lalu, sebagian di antara para pelaku disebut sebagai NGO (non governmental organization) dan masih banyak yang bertahan dengan konsep NGO. Sebagian lagi merasa aneh bergerak dengan cara entrepreneurship, entah karena tidak ada kapabilitas sehingga menjadi defensif atau karena karakter entrepreneur itu sendiri selama ini telah menjadi momok yang harus mereka lawan karena terkesan mapan.

Di Amerika Serikat, semakin hari social entrepreneur telah menjadi perhatian yang penting. Di Harvard Business School telah dibentuk The Social Entrepreneurship Initiative. Sedangkan di Duke University disediakan sebuah wadah berupa The Center for The Advancement of Social Entrepreneurship.

Hal serupa juga dibangun di Columbia Business School, dan puluhan universitas lain mengikuti langkah mereka. Di Eropa, hal serupa juga terjadi, dan pemerintah yang paling agresif mendorong peran Sektor Ketiga tampaknya adalah Inggris.

British Council yang dulu hanya berfokus pada kursus bahasa Inggris dan pemberian beasiswa beberapa tahun ini bahkan mulai membangun jaringan kerja sama dan pengembangan kapasitas dalam dua bidang: ekonomi kreatif dan social entrepreneur.

Namun,terlepas dari hirukpikuk definisi, social entrepreneur Bambang Ismawan mendefinisikan kewirausahaan sosial adalah social development with entrepreneurship solution. Simpel bukan? Jadi pejuang-pejuang kesejahteraan sosial yang dulu hanya menampung dana-dana sosial kini bisa saja menegakkan kepalanya dengan berhenti mencari donasi asalkan mau lebih rendah hati berwirausaha atau menggunakan pendekatan kewirausahaan.

Tak ada yang melarang mereka untuk berkegiatan ekonomi sepanjang hal itu dilakukan untuk menjaga masa depannya (sustainability). Setiap orang ingin hidup sejahtera, tapi tetap bisa berbagi. Namun, saat berwirausaha, ingatlah selalu bahwa keuntungan yang didapat akan digunakan untuk berkegiatan sosial.

Unik dan Bervariasi

Rekan-rekan saya di AKSI menemukan bahwa setiap anggota kami memiliki perilaku perubahan sosial yang unik dan bentuk kegiatannya amat beragam.Anda bisa bayangkan ada yang memulainya dari sungai dan berbisnis kambing dan ternak ikan. Ada yang memulainya dari petani dan bermuara pada lembaga keuangan mikro (Bank Tani).

Ada yang memulainya dari orang-orang buta, taman kanak-kanak,listrik desa (mikrohidro), pengemis dan pemulung, pendidikan anak usia dini, permainan tradisional yang nyaris punah, anak-anak autis, sampah, lingkungan hidup, dan seterusnya. Luas sekali ya? Benar.

Karena setiap orang memulai dari kegelisahan masing-masing sehingga pemicu awalnya hampir semua berbeda. Mereka mulainya dari diri mereka masing-masing, namun tidak meratapi diri atau menyerang lembaga-lembaga resmi atau menuding pemerintah. Maka ada otentisitas intervensi yang adaptif dengan budaya setempat.

Mereka masing-masing mengakar dalam masyarakatnya, dan tetap rendah hati. Pendekatan kewirausahaan pun tidak hanya dipakai untuk mencari uang. Mereka semua benar-benar bekerja bak entrepreneur sungguhan. Membangun usaha, merekrut pegawai,menciptakan produk, dan menyalurkan kesejahteraan.

Ayo siapa yang mau ikut bergabung? Jangan asal bicara, apalagi mengajak orang untuk ribut terus. Kesenjangan sosial yang semakin menganga saat ekonomi membaik (tumbuh) tak bisa diatasi hanya dengan cara-cara dialektis dan politis. Kita bisa membantu mengatasinya dengan pendekatan kewirausahaan. RHENALD KASALI Ketua Program MM UI

Puluhan PNS Asyik Nongkrong Saat Jam Kerja

RABU, 22 JUNI 2011 | 14:28 WIB


TRIBUN JABAR/M ZEZEN ZAINAL M
PNS BERKELIARAN – Sejumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pemkab Garut terlihat berkeliaran dan nongkrong di beberapa pusat jajanan di kawasan Jalan Patriot Garut, Rabu (22/6).
GARUT, TRIBUN - Puluhan pegawai dan PNS di lingkungan Pemkab Garut terlihat berkeliaran saat jam kerja. Bukannya bekerja, mereka malah asyik makan dan jajan di sepanjang Jalan Patriot dan Jalan Pahlawan Garut, Rabu (22/6) siang.

Banyaknya pegawai yang berkeliaran saat jam kerja ini banyak mendapat cibiran dari masyarakat sekitar. Feri contohnya. Ayah satu anak ini mengaku risih melihat banyak PNS yang berkeliaran dimana seharusnya mereka bekerja di kantornya masing-masing.

"Parah
 banget, koq saat jam kerja seperti ini banyak PNS yang malah asyik nongkrong di pinggir jalan. Harusnya mereka maludong sama masyarakat. Mereka digaji untuk kerja bukan malah enak-enak nongkrong di jalan," kata Feri sambil menggerutu saat ditemui di kawasan jalan Patriot Garut, Rabu (22/6).

Berdasarkan pantauan
 Tribun, puluhan PNS terlihat banyak yang berkeliaran dan bergerombol di pusat-pusat jajanan di sepanjang jalan Patriot dan Jalan Pahlawan Garut tak jauh dari kompleks Pemkab Garut. 

Diawali Modal Dengkul, Kini Raup Omzet Ratusan Juta

SELASA, 21 JUNI 2011 | 22:59 WIB
TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN
IKON WIRAUSAHA MUDA – Demi Firmansyah (kiri), perwakilan juri secara simbolis menyerahkan kunci hadiah sepeda motor Honda Scoopy kepada juara pertama Ali bagus Antra pengusaha Bebek Garang pada audisi kontes ikon wirausaha muda pemula "Youth Start-Up Icon" wilayah Bandung yang diselenggaarakan Mark Plus di Hotel Aston Primera Pasteur, Jalan Dr Djunjunan, Kota Bandung, Selasa (21/6/2011). Ali Bagus berhasil menyisihkan 19 finalis lainnya dan akan menjadi wakil Bandung di ajang kontes nasional yang akan diselenggarakan
MENJADI seorang wirausahawan yang meraih kesuksesan, bukanlah hal yang mudah. Banyak kendala yang harus dialami seseorang untuk menjadi seorang wirausahawan.

Sejauh ini, permodalan menjadi kendala klasik bagi seseorang untuk merintis usaha. Namun, kesulitan finansial tidak harus menjadi hambatan atau membuat seseorang mengurungkan niatnya untuk menjadi pengusaha.

Itu dialami Ali Bagus Antra Suantra. Buktinya, anak muda asli Bandung tersebut, kini, menjelma menjadi seorang wirausahawan yang tergolong sukses. Kini, dia memiliki resto bernama Bebek Girang, yang berlokasi di Jalan Sulanjana 19 Bandung. Dia  balik itu, ternyata, Ali harus melakoni rintangan yang berliku dan tidak mudah.

"Ide awal terbentuknya Bebek Garang ini sekitar tiga tahun silam. Ketika itu, saya dan beberapa teman berkumpul. Saat itu, kami berbincang-bincang tentang dunia usaha. Itu karena kami memang ingin membuka usaha," kata Ali  seusai merebut Juara I Youth Start Up Icons di Hotel Aston Pasteur, Jalan Pasteur Bandung, Selasa (21/6).

Ali mengisahkan, dalam pembicaraan itu, mereka membahas bidang usaha apa yang sekiranya dapat menuai hasil optimal. Kemudian, tercetuslah bahwa kuliner menjadi pilihannya.

Lagi-lagi, untuk menentukan jenis kulinernya, bersama teman-temannya, Ali tidak langsung memutuskannya. Mereka mempelajari kuliner apa yang punya potensi besar untuk berkembang. Akhirnya, mereka memutuskan untuk menekuni kuliner berbahan baku bebek.

Meski demikian, kata Ali, modal kembali menjadi kendala. Namun, mereka tidak patah arang, apalagi mengurungkan niatnya. Selanjutnya, mereka mencoba mencari investor untuk merintis usaha bebek tersebut.

"Bisa dikatakan, kami modal dengkul. Alhamdulillah, ada investor yang bersedia berinvestasi. Modal awalnya, Rp 10 juta. Kami pun berusaha menjaga kepercayaan itu. Caranya, bersungguh-sungguh menjalankan usaha," ujarnya.

Setelah menerima suntikan dana, lanjut Ali, mereka mulai membuka food court kecil-kecilan. Ternyata, setelah membuka food court itu, Ali mulai merasakan perjuangan yang berat untuk meraih kesuksesan.
 

"Kami pernah jatuh bangun. Selama 8 bulan, kami tidak meraih untung. Hasil usaha kami tidak untung, tetapi tidak rugi. Dalam bahasa Sunda, istilahnya plus plos," ujarnya sambil tersenyum.

Walau begitu, Ali tetap memutuskan untuk melanjutkan bisnisnya. Dia mulai berani mengembangkan usahanya. "Asalnya  kami ada di Jalan Kyai Luhur 9. Lalu, setelah memutuskan untuk mengembangkan usaha, kami pindah ke Jalan Sulanjana," katanya.

Untuk mengembangkan bisnisnya, berbagai upaya dia lakukan. Mulai melakukan promosi secara konvensional alias dari mulut ke mulut, hingga pemanfaatan dunia maya. "Hasilnya, Alhamdulillah. Kami berkembang pesat, terlebih, setelah melakukan promosi dan marketing melalui dunia maya, semisal jejaring face book," ujarnya.

Lalu, konsumennya dari mana saja? Ali menjawab, pengunjung Bebek Garang alias Bebek Segar Merangsang datang dari berbagai daerah, baik lokal, maupun regional. "Misalnya, asal Jakarta. Bahkan, ada pula pengunjung asal luar negeri, seperti Malaysia, termasuk Belanda. Alhamdulillah, saat ini, omzetnya sekitar Rp 300 juta per bulan," katanya.

Kendati sudah tergolong meraih sukses, Ali berpendapat, menjadi seorang wirausahawan tetap harus bekerja keras. Menurutnya, anggapan bahwa menjadi seorang pengusaha itu adalah sesuatu yang mengenakkan karena tidak terikat waktu tetapi punya penghasilan tidak terbatas, kenyataannya, tidak demikian.

"Saya kira, istilah yang tepat adalah fleksibel itu karena pengusaha tidak terikat waktu kerja. Tapi, tetap saja, kami harus berpikir selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Itu karena kami harus terus berkreasi dan berinovasi agar dapat tetap eksis dan berdaya saing," urainya menutup pembicaraan.
 (erwin adriansyah)