Berbagi Pengetahuan

Blog ini dibuat sebagai kliping media.

Semoga bermanfaat

Sabtu, 18 Februari 2012

Dehumanisasi

Sunday, 19 February 2012
Kata kawan saya yang ngerti agama,ada suatu hadis yang mengisahkan seorang sahabat yang secara tak sengaja melihat Rasulullah sedang mencium cucunya.


Rupanya tidak lazim di kebudayaan Arab ketika itu bahwa seorang eyang kakung (apalagi seorang rasul,yang panglima perang juga) mencium anak-anak.Maka sahabat pun bertanya, “Wahai baginda Rasul, mengapa pula kau ciumi cucumu itu?” Pada riwayat yang lain, ada sahabat lain yang menyaksikan bahwa Rasulullah memberi nama kepada benda-benda miliknya,termasuk cangkir dan piring makan yang sehari-hari digunakannya. Maka sahabat pun bertanya lagi (para sahabat inipekerjaannya nanyamelulu), “Wahai baginda Rasul,mengapa kau panggil cangkir dan piringmu itu dengan namanya?

Bukankah mereka hanya benda, bukan manusia?” Terhadap kedua pertanyaan itu, jawab Rasul sama,yaitu kita harus mengasihi segala sesuatu yang ada di muka bumi ini. Dengan kasih sayanglah akan terjadi bumi yang damai. Mencium cucu dan menyebut cangkir dan piring dengan namanya adalah tanda kasih sayangku kepada mereka. Mudah-mudahan kawan saya menceritakan kepada saya hadis yang sahih.Amin.

*** Di TV hari-hari ini ada iklan tentang bumbu masak dengan kaldu ayam. Si Fulan punya ayam kesayangan yang diciuminya setiap sebelum berangkat sekolah. Suatu hari, sepulang sekolah,mama Fulan menyiapkan makan siang berbumbu ayam. Rasanya lezat bak ayam asli.Tiba-tiba mata Fulan melotot dan ia menjerit, “Ayamkuuuu...” (untung ayam kesayangannya masih sehat walafiat). Lain lagi ceritanya dengan pusaka-pusaka keraton. Semua pusaka keraton diberi nama,dimuliakan,bahkan ada beberapa yang hanya boleh disentuh raja.

Di Keraton Cirebon, misalnya, kereta-kereta kencana diberi nama Kereta Paksi Naga Lima dan Kereta Singo Barong. Tombak pusaka Keraton Yogyakarta bernama Kanjeng Kiai Ageng Plered dan keris pusaka diberi nama Khrisna Balagita.Pada acara-acara tertentu seperti sekatenan (tahun baru Islam, 1 Syura) pusakapusaka itu dibersihkan,dimandikan, dan airnya diperebutkan masyarakat untuk menyuburkan sawah atau menyuburkan menantu yang baru menikah supaya cepat dapat keturunan.

Klenik, atau syirik, memang.Tapi begitulah caranya kalau hendak mempertahankan tradisi dan menjaga kelestarian lingkungan. Tanpa harus lari ke klenik atau syirik, teknik untuk mencintai lingkungan fisik, alamiah, buatan maupun lingkungan manusia,dengan memberi nama, seperti yang diajarkan Rasulullah, adalah teknik yang sangat tepat menurut ilmu psikologi.Dalam psikologi lingkungan, misalnya, pohonpohon yang diberi nama oleh masyarakat tidak akan ditebang dan tanaman yang diajak bicara layaknya kita bicara dengan cucu yang masih bayi yang belum bisa ngomong akan berbunga atau berbuah lebih indah dan lebih banyak.

Dalam psikologi,pemanusiaan objek (benda,tanaman,hewan, manusia) disebut proses humanisasi. Dengan humanisasi, kita memperlakukan objekobjek itu layaknya manusia, dipelihara, dijaga, dilindungi, dicintai,dan seterusnya. Tapi yang kita jumpai tahun-tahun terakhir ini justru proses dehumanisasi,yaitu manusia yang dijadikan/dianggap bukan manusia, sehingga bisa diperlakukan juga seakanakan bukan manusia. Di Kalimantan Barat pada 1999,ketika konflik antaretnik terjadi,saya bersama beberapa orang profesor UI lain dikirim ke sana.

Pada waktu itu sudah sangat kondang bahwa etnik Madura menyebut etnik Melayu dengan “kerupuk” dan etnik Dayak dengan “kafir”. Begitu juga ketika saya dan tim UI yang sama dikirim ke Ambon pada tahun yang sama, orang Kristen di sana menyebut muslim “Acan” (dari: Hasan) dan muslimnya menyebut umat Kristen dengan “Obet” (Robert). Acan dan Obet bukan lagi manusia, melainkan makhluk antah-berantah yang bisa diperlakukan apa saja, bahkan lebih buruk daripada perlakuan pada benda. Pantaslah jika konflik etnik dan konflik agama di kedua provinsi itu berlangsung berkepanjangan. Ini lagi.

Masih ingat kerbau yang diarak demonstran di Bundaran HI untuk memprotes Presiden SBY? Caci-maki dan cercaan ditujukan kepada si kerbau tidak berdosa sambil disorong ke kanan disorong ke kiri (seperti lagu Potong Bebek Angsa) oleh para demonstran tanpa belas kasihan. Tapi coba ambil koordinator lapangan yang paling galak,hadapkan sendirian ke Presiden SBY yang juga sendirian. Pasti galaknya langsung ciut karena yang dihadapi bukan lagi hewan kerbau yang dinamai SBY, melainkan seorang manusia bernama SBY yang kebetulan presiden RI. Banyak sekali contoh dehumanisasi bisa dideretkan di sini.

Pasien-pasien gawat darurat digeletakkan saja di koridor di depan UGD, nunggu perawat makan baso dulu. Pengantre di stasiun kereta api yang sudah antre sejak semalam, karena mau mudik, tiba-tiba mendapati loket pas di depannya ditutu: “Karcis habis!” Seorang anak perempuan,pulang sekolah,masih berseragam SD, tiba-tiba menyaksikan rumahnya sudah rata dengan tanah karena digusur Satpol PP dan ibunya sedang menangis histeris di tanah––dan masih jutaan contoh lain.

Seakan-akan mereka ini bukan manusia. Ada lagi contoh. Di salah satu stasiun TV ada iklan agama Islam. Cuplikan khotbah beberapa ulama ditampilkan, salah satunya, “Di negeri ini ada satu cara untuk memberantas korupsi.Hukum mati!”Loh, kok segampang itu? Koruptor juga manusia. Sama seperti rocker! Apalagi kalau koruptor itu anak pak kiai sendiri. Begitu juga dengan demokrasi. Demokrasi yang kita praktikkan sekarang ini tidak lain adalah demokrasi statistik.

Calon mana yang punya pendukung terbanyak, itulah yang menang. Tidak peduli apakah pendukung itu preman bayaran atau warga negara yang sadar akan hak pilihnya, dipukul rata saja. Karena targetnya adalah banyak-banyakan pendukung,maka suara itu dibeli saja. Kalau nantinya kalah juga, pasti KPU/KPUD curang, didemo, dirusak, dan dibakar.Habis perkara!

*** Memanusiakan manusia lain dan alam sekitar. Itulah yang harus kita pelajari sekarang. Statistik tentang kecelakaan lalu lintas boleh jadi objektif. Misalnya, korban kecelakaan lalu lintas per tahun sama dengan korban pesawat Boeing 747 yang jatuh dan penumpangnya tewas semua. Tapi statistik seperti itu kalah berkesan ketimbang reportase kunjungan ke rumah-rumah korban, wawancara dengan ibu yang sedang hamil yang ditinggal suaminya karena kecelakaan Avanza di Tugu Tani (tewas 9 orang) atau korban lain akibat kecelakaan bus Karunia Bakti di Puncak (tewas 14 orang).

Memanusiakan manusia bukan hal yang sulit dan tidak ada hubungannya dengan gaji yang rendah. Mengasihi sesama, mencium cucu untuk berbagi kasih,menyayangi bendabenda dengan memberi nama, memperhatikan tetangga, menegur sapa pasien, atau mengajak masyarakat calon korban penggusuran untuk bersamasama mencari solusi, dan sebagainya, itu hanya membutuhkan sikap bijak seperti yang diajarkan Rasulullah SAW.Tidak perlu kenaikan UMR.

SARLITO WIRAWAN SARWONO 
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar