Berbagi Pengetahuan

Blog ini dibuat sebagai kliping media.

Semoga bermanfaat

Minggu, 12 Februari 2012

Korporatokrasi Pangan

Monday, 13 February 2012
Hampir semua negara di dunia, termasuk Indonesia, tengah menghadapi ancaman korporatokrasi. Korporatokrasi adalah gabungan kekuatan korporasi, institusi keuangan internasional (IMF, Bank Dunia), dan pemerintah yang menyatukan kekuatan finansial dan politik guna memaksa warga dunia mengikuti kehendak mereka.

Korporatokrasi bisa terbentuk apabila ada kekuatan lokal yang loyal dan bertindak sebagai komprador. Gejala ini sudah merasuk di banyak negara,termasuk Indonesia. Hampir semua sektor, termasuk pertanian, sudah dijamah. Pemaksaan korporatokrasi tidak dilakukan lewat cara-cara kekerasan (koersif) seperti era kolonialisme di masa lalu. Contohnya era VOC (1602–1800) dengan praktik Tanam Paksa (1830–1870) di Indonesia. Sebagai gantinya, korporasi memakai mekanisme pasar untuk memuluskan praktik penjajahan.

Praktik itu antara lain ditandai munculnya sistem rantai pangan(agrifoodchain) olehkorporasi multinasional (MNCs). Sistem ini menghubungkan mata rantai sejak dari gen sampai rak-rak di supermarket tanpa ada titik-titik penjualan (price procurement). Artinya, sektor pangan—mulai produksi, perdagangan,pengolahan hingga pasar ritel—tidak hanya terindustrialisasi dan mengglobal, tetapi juga semakin terkonsentrasi. South Center (2005) merilis data yang menyebutkan bahwa 85–90% perdagangan pangan dunia dikontrol hanya oleh 5 MNCs.

Kontrol

Dengan penguasaan pasar (hampir monopoli mutlak) MNCs bisa mengontrol harga input pertanian,mempraktikkan perjanjian jual-beli yang tidak fair, membentuk harga kartel, mendepak perusahaan lokal dari pasar, dan membeli komoditas petani dengan harga supermurah. Sebagai ilustrasi,Wal-Mart di Amerika Serikat misalnya memanfaatkan suplai yang berlebih untuk mendepak pemasok lama dan menekan harga pisang dari 1,08 euro (2002) menjadi 0,74 euro (2004).

Akibatnya, petani pisang di Kostarika sebagai pemasok merugi dan tidak bisa membayar buruh dengan upah minimum layak. Sebab, tiap USD1 harga pisang di Kostarika 57% jatuh ke MNCs. Untung besar (windfall profit) diraih korporasi dengan memeras petani lewat dua cara (double squeezing): mematok harga input dan olahan dengan harga tinggi serta menekan harga beli komoditas petani serendah mungkin. Akibatnya, harga-harga komoditas primer di pasar dunia terus merosot. Sebaliknya,harga yang dibayar oleh konsumen untuk produk olahan atau produk jadi terus meningkat.

Jadi, mekanisme pasaryangdidesainkorporasitidak hanya merugikan petani,tetapi juga memeras konsumen. MNCs juga memanfaatkan lembaga-lembaga multilateral seperti IMF dan Bank Dunia untuk memuluskan tujuan. Di bawah tekanan dan lobi-lobi korporasi atas nama globalisasi, IMF dan Bank Dunia mendesak pemerintahandibanyaknegara agar menerapkan kebijakan neoliberal.Pemerintah dipinggirkan dan bisnis memegang kendali berbagai area publik yang semula dikelola dan jadi domain negara.Noreena Hertz (1999) menyebut gejala ini sebagai “peng-ambilalihan diam-diam”(silent take-over).

Perubahan ini diikuti tergerusnya kearifan dan kekayaan hayati lokal yang selama berabad-abad terbukti bisa menjamin ketahanan pangan warga.Kini,setelah mengadopsi sistem monokultur, petani tergantung asupan kimiawi dan paket teknologi korporasi global yang memonopoli dua pertiga pasar global pestisida dan seperempat penjualan bibit g l o b a l ber i k u t patennya.Kebijakan led-export production berdampak langsung pada terciptanya situasi-situasi genting ini: ratusan juta petani guremyang dulunya mandiri, petani kehilangan tanah,kehilanganpekerjaan,kehilangan sumber pangan dan kelaparan.

Pada Forum Ekonomi Dunia di Jakarta,Juni lalu,Indonesia resmi mengadopsi pendekatan ekonomi hijau. Dengan formula 20-20-20 (meningkatkan produksi pangan 20%, menekan emisi gas rumah kaca 20%, dan menekan kemiskinan 20%), pemerintah menggandeng 14 korporasi multinasional seperti Nestle,Monsanto, Cargill,Unilever,dan Danone. Mereka bersedia menjadi pembeli produk pangan asal Indonesia.

Bahaya Mengintai

Bukan hal baru terjalin kerja sama petani dan korporasi. Sebagai pencetak laba, juga bukan hal baru korporasi bisa meraih keuntungan dari bahan baku yang dihasilkan petani. Masalahnya, patut disayangkan, cara meraih kekayaan dilakukan dengan memeras keringat petani sampai habis tanpa memberi imbalan yang sepadan.Korporasi multinasional pertama di negeri ini, VOC,adalah catatan yang baik ihwal sejarah eksploitasi sumber daya alam dan manusia Indonesia, khususnya petani, oleh korporasi.

Bahaya mengintai pertanian Indonesia.Dengan dalih ekonomi hijau, pencaplokan korporasi nasional oleh MNCs akan kian masif. Agenda ekonomi hijau hanya kelanjutan dan bagian dari usaha melempangkan jalan korporatokrasi pangan yang telah berjalan. Bukankah sejumlah MNCs seperti Danone (Prancis), Unilever (Inggris), Nestle (Swiss), Coca Cola (AS),HJ Heinz (AS), Campbels (AS), Numico (Belanda), dan Philip Morris (AS) sudah sejak lama mencaplok produk pangan lokal yang mereknya moncer di pasar?

Kecap dan saus ABC misalnya, 65% sahamnya dimiliki Heinz, seluruh saham PT Sariwangi dicaplok Unilever, 75% saham Aqua dimiliki Danone, dan 100% saham Ades dimiliki Coca Cola. Alih-alih mendongkrak produksi pangan, menekan emisi GRK dan kemiskinan, mengadopsi pendekatan ekonomi hijau bisa jadi justru melanggengkan penjajahan sumber daya alam dan manusia Indonesia, khususnya petani.

Jika kekhawatiran saya itu terjadi, ini artinya kita kembali mengundang kolonialisme yang dengan sekuat daya (tenaga, harta, dan nyawa) diusir para founding fathers dari negeri tercinta.

KHUDORI 
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, Penulis Buku Ironi Negeri Beras

Tidak ada komentar:

Posting Komentar