Berbagi Pengetahuan

Blog ini dibuat sebagai kliping media.

Semoga bermanfaat

Minggu, 12 Februari 2012

Koruptor Generasi Kedua

Monday, 13 February 2012
Apa kata paling tepat untuk menggambarkan tingkah laku para pejabat—terutama anak-anak muda—yang sangat dekat keterlibatannya dengan korupsi selain “memalukan”, “nista”, “ironis”, dan “menjengkelkan”?



Memalukan tepat karena mereka bagian dari generasi yang mengutuk orangorang Orde Baru yang korup, yang dianggap tak tahu malu. Mengapa mereka sekarang— hanya dalam waktu begitu pendek—malah menjadi jauh lebih memalukan karena mereka boleh jadi lebih serakah dari para tokoh yang mereka kutuk? Jadi, kata memalukan tepat untuk menggambarkan keburukan mereka. Kata kedua,“nista”, juga tepat karena anak-anak itu baru menginjak usia empat-lima puluhan tahun dan dalam posisi berkuasa.Mengapa serakah dan buru-buru ingin menjadi sangat kaya, lebih dari orang-orang Orde Baru yang mereka kutuk?

Dalam posisi seperti mereka, tidak korup pun hidup dengan sendirinya jauh dari kecukupan. Bahkan mewah.Apa lagi yang dicari? Gerak-gerik mereka mengerikan. Dalam waktu pendek mungkin bisa mereka menguras kekayaan Tanah Air untuk digondol ke luar negeri. Keserakahan itu sebuah kenistaan yang nyata. Kata ketiga, “ironis”, tak kurang tepatnya. Mereka itu anak-anak yang hidup di dunia agama, anak pesantren, dekat kiai, diajari mengaji, dan dalam mengaji itu ditegaskan korupsi haram jadah dan dari sudut rohaniah mereka sendiri mengutuk buruknya korupsi.

Tapi mereka korup secara memalukan tadi. Kalau kita tahu latar belakang mereka preman jalanan sejak kecil dan bahwa perkara merampok, menjarah rayah milik orang dianggap bukan masalah,maka melihat mereka terlibat korupsi kita tidak akan kaget, tidak akan heran, dan—sekali lagi—tak merasakan adanya “ironi”itu. Kata keempat, “menjengkelkan”, siapa bilang tidak tepat menggambarkan ulah mereka? Para mantan tokoh dan yang bahkan memimpin organisasi Islam untuk kalangan pemuda dan mahasiswa dan kesan luarnya begitu saleh,begitu santun dan lembut, tapi mengapa diam-diam membiarkan dirinya terlibat perkara haram yang diketahuinya dengan baik sejak kecil?

Pengetahuan mendalam— sebagai tokoh gerakan keagamaan di kalangan pemuda dan mahasiswa tadi—tentang halal-haram itu apa relevansinya dengan hidup? Mengapa masih muda sudah munafik, sudah memperlihatkan pertentangan tajam antara pengetahuan dan tindakannya? Ini perkara sangat menjengkelkan karena bukankah berarti mereka menjual agama dan pengetahuan keagamaan mereka dengan murah meriah, di depan jutaan rakyat?

Ada bahkan yang mengatakan kepada wartawan, “Lho, apa salahnya kaya?” Betapa naif sikapnya. Kaya itu sudah salah bagi orang yang latar belakangnya miskin dan tibatiba hidupnya berlimpah harta. Salah sekali.Kecuali dari kecil sudah memperoleh warisan kekayaan Nabi Sulaiman. Sikap sopan,lembut,berpeci ke sana-kemari,tapi tak merasa malu menjadi kaya, bahkan kelihatannya tak malu diketahui publik kemungkinan keterlibatannya dalam korupsi besar dan luar biasa, apa ini bukan perkara ”menjengkelkan”? Bahkan “sangat menjengkelkan” seperti disebut di atas?

Dalam kasus Bank Century, kasus mafia pajak, dan kasus Wisma Atlet, jelas terlihat bahwa koruptor generasi kedua lebih serakah, lebih lihai—tapi lihai dalam kejahatan untuk apa dikagumi—dan lebih cekatan menghindar ke sana-kemari. Yang tak menghindar,tinggal di dalamnegeri,denganpura-pura kalem, pura-pura sopan, dan menganggap tuduhan pada diri mereka hanya khayalan,hanya dongeng,karena mereka semua memiliki posisi penting, kuat, dan ada kedekatan dengan Presiden, yang baru kemarin sang Presiden mengatakan akan membiarkan yang dituduh korup tetap dalam posisi mewahnya dan tak akan bertindak apa pun.

Presiden, yang berteriak hendak mengganyang sendiri korupsi dari negeri ini dan siapa pun yang ditugasinya harus melaporkan kepadanya apa yang ditemukannya, kini, ketika suara bangsanya sudah gemuruh karena jengkel kepada para koruptor yang dekat dengan dirinya, malah diam saja.Apa yang bisa diharapkan dari presiden macam ini? Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro untuk menghajar penjajah Belanda membikin guncang pemerintahan kolonial di sini.

Kalau kita mendapat sekali lagi presiden yang rapi dan halus tingkah laku maupun rambutnya, maka dalam lima tahun pemerintahan yang akan datang keuangan negara juga bisa guncang seperti keuangan Belanda di masa Perang Diponegoro. Guncangnya keuangan Belanda kita syukuri, tapi bagi kita akan menjadi ancaman bila generasi para koruptor sekarang berkuasa lebih lama. Negara bangkrut karena keserakahan para pejabat—dan mereka orang muda—apa tak akan mengenaskan?

Sopan, lembut, seperti tak berdosa, dan penuh tata krama, apa gunanya kalau tindakannya mengacaukan perekonomian negara? Mungkin lebih baik orang pencilakan atau bedigasan, pendeknya tidak sopan, tapi hidup apa adanya, dan tidak penuh kepura-puraan. Lain kali, hati-hati memilih orang sopan, orang lembut, seperti tak berdosa, dan hatihati pula memilih orang yang rapi jali dan penuh pretensi untuk disebut bersih, yang kelihatan bijak tapi penakut dan malas mengambil risiko jabatan.

Dalam keseluruhan, di antara empat kata di atas, kata “ironis” bisa juga dipakai menilai kebijakan pemerintah. Presiden yang sudah dengan gagah berani berjanji hendak mengganyang korupsi di negeri ini, tapi kenyataannya pemerintahan ini mungkin bisa disebut yang paling korup di antara semua pemerintahan sebelumnya, selama masa Reformasi.

Tuhan, rupanya Engkau pun ditipunya dengan ikrar tak bermakna apa-apa tersebut. Maka, saya kira, kita harus bertindak mengawal ketat, dari jarak dekat dan kritis, agar semua kasus korupsi, sejak kasus Bank Century, dibongkar kembali. Jangan biarkan koruptor generasi kedua merajalela.

MOHAMAD SOBARY 
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: dandanggula@hotmail.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar