Berbagi Pengetahuan

Blog ini dibuat sebagai kliping media.

Semoga bermanfaat

Sabtu, 31 Maret 2012

Hasil Paripurna DPR Bisa Dibatalkan MK


PDFPrint
Sunday, 01 April 2012
JAKARTA – Hasil sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mengesahkan penambahan ayat 6A pada Pasal 7 RUU No 22/2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2012 segera dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diuji materi.

Bahkan ada peluang untuk membatalkan keputusan tersebut. Beberapa pihak menyatakan,penambahan ayat 6A pada Pasal 7 UU No 22/2011 tersebut bertentangan dengan Pasal 28D dan Pasal 33 UUD 1945. Hal ini merujuk pada penafsiran MK tahun 2003 lalu ketika pengujian Pasal 28 UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Berdasarkan hal tersebut, pakar hukum tata negara yang juga mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra tengah menyiapkan draf uji formal dan materiil pasal tersebut ke MK agar dibatalkan. ”Senin belum bisa didaftarkan ke MK karena harus menunggu perubahan undang-undang APBN tersebut disahkan dan diundangkan lebih dulu oleh Presiden.

Setelah diundangkan, kita langsung ajukan gugatan,” kata Yusril di Jakarta kemarin. Menurut Yusril, norma Pasal 7 ayat 6A selain mengabaikan kedaulatan rakyat dalam menetapkan APBN, juga mengabaikan asas kepastian hukum dan keadilan sehingga potensial dibatalkan MK. ”Saya akan bertindak sebagai lawyer atas kuasa beberapa orang rakyat pengguna BBM bersubsidi yang hak-hak konstitusional mereka dirugikan dengan Pasal 7 ayat 6A tersebut.

Dengan demikian mereka punya legal standing untuk mengajukan perkara ini ke MK,”ujarnya. Pada sidang paripurna DPR Sabtu lalu (31/3), melalui pemungutan suara (voting) sebanyak 356 anggota Dewan atau 50% lebih menyetujui penambahan ayat 6A pada Pasal 7 RUU APBN-P 2012. Ayat 6A yang ditambahkan pada sidang paripurna DPR berbunyi:

“Dalam hal harga rata-rata ICP dalam kurun waktu 6 bulan berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15%,pemerintah diberi wewenang menyesuaikan harga BBM bersubsidi dengan kebijakan pendukung nya.”Adapun putusan judicial review perkara nomor 002/PUU-I/2003 membatalkan Pasal 28 ayat 2 UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) yang menyerahkan penetapan harga BBM terhadap mekanisme pasar.

MK yang saat itu dipimpin oleh Jimly Asshiddiqie memutuskan bahwa Pasal 28 ayat 2 dan 3 bertentangan dengan konstitusi. Sekretaris FPDIP Bambang Wuryanto,Wakil Ketua Fraksi Partai Gerindra Ahmad Muzani, dan Sekretaris Fraksi Partai Hanura Saleh Husin saat perdebatan di paripurna sudah mengingatkan bahwa pasal itu bisa dibatalkan oleh MK karena sudah ada yurisprudensinya.

Saleh Husin mengatakan, karena pasal itu akhirnya masuk dalam UU APBN-P 2012, pihaknya akan mengajukan judicial review ke MK. Saat ini tim hukum kami sedang mempelajari substansi yang akan diuji agar bisa diterima MK nanti. Adapun Ketua MK Mahfud MD menyatakan putusan yang membatalkan Pasal 28 ayat 2 UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas masih valid dan berlaku hingga saat ini karena belum ada aturan baru yang menjadi acuan pemerintah.

Konsekuensinya, pemerintah tidak boleh menetapkan harga BBM dan gas bumi sesuai dengan mekanisme pasar bebas. ”Jadi pemerintah harus lebih berperan, jangan sepenuhnya ikut pasar. Jadi setiap kebijakan yang tidak sesuai dengan itu (putusan MK) melanggar hukum dan undang-undang,”ujar Mahfud kemarin. Berdasarkan putusan MK, menurut Mahfud, pemerintah wajib ikut menentukan harga BBM dengan berorientasi pada kemakmuran rakyat.

Pengamat perminyakan Kurtubi menyatakan dengan mengacu pada harga di Mean Oils Platt Singapore (MOPS), pemerintah telah menyerahkan penentuan harga BBM pada mekanisme pasar bebas. Kurtubi mencontohkan seperti halnya BBM jenis pertamax yang bisa berubah sewaktuwaktu tanpa pemberitahuan sebelumnya. ”Mengacu pada MOP Singapura itu artinya sudah diserahkan pada mekanisme pasar, naik turunnya tergantung harga pasar. Ini tidak bisa dibantah (sudah masuk pasar bebas),”ujarnya.

Justru tindakan pemerintah itu menurut Kurtubi bertentangan dengan putusan MK. Sesuai dengan konstitusi, pemerintah harus ikut campur melakukan pengendalian dalam penentuan harga BBM.Caranya dengan menentukan acuan berdasarkan biaya pokok produksi. Di tempa terpisah,pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie mengatakan, tidak tertutup kemungkinan Pasal 7 ayat 6A dibatalkan MK jika si pemohon mampu membangun argumentasi yang kuat serta dapat meyakinkan majelis hakim.

Namun, sejauh ini belum bisa dilihat seperti apa konstruksi atau dasar pertimbangan yang dibangun si pemohon selama UU tersebut belum diajukan ke MK. “Jadi terbuka kemungkinan Pasal 7 ayat 6A yang disepakati DPR itu diujimaterikan dan dibatalkan MK,”kata Jimly. rahmat sahid/mnlatief/ andi setawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar