Berbagi Pengetahuan

Blog ini dibuat sebagai kliping media.

Semoga bermanfaat

Selasa, 13 Maret 2012

Perang Dingin Iran-AS


PDFPrint
Wednesday, 14 March 2012
Apakah Iran sungguh punya senjata nuklir dan membahayakan dunia? Saya pikir tidak berlebihan bila mengatakan, pertanyaan ini belum punya jawaban memuaskan atau final bagi semua pihak.

Rata-rata publik masih menebak- nebak bagaimana kondisi riilnya. Bagi yang pro-Iran, jawabannya bisa definitif “tidak” atau “tidak mungkin”, tetapi bagi yang awam politik di Timur Tengah, ada ruang untuk mengatakan “belum tahu”. Bagi saya, ketegangan yang belakangan terjadi antara Iran dan Amerika Serikat (AS) merupakan bahan refleksi menarik. Pertama, telah terjadi perang dingin baru yang berkembang dalam politik internasional. Indonesia harus waspada dan bisa menyikapinya dengan bijak.

Kedua, tersedia peluang bagus bagi Indonesia dalam hal kekuatan diplomasi, tetapi belum dimanfaatkan optimal. Pertama,soal perang dingin baru dalam politik internasional. Ketegangan antara Iran dan AS, yang juga diramaikan ketidakjelasan posisi politik China dan Rusia, sesungguhnya merupakan tanda perbedaan pendapat yang cukup tajam antarnegara besar di dunia. Perbedaan pendapat ini mencakup cara berpikir, cara melihat, cara merasakan, dan cara bertindak ketika menghadapi suatu fenomena.

Fenomena itu adalah kepemilikan program dan fasilitas pengayaan uranium Iran. Informasi mengenai Iran maupun AS samasama telah melalui proses framing atau pembentukan persepsi tertentu.Artinya,pembaca akan sangat mudah dipengaruhi pemilihan kata-kata serta sudut pandang tertentu dari suatu berita. Misalnya, ketika kita membaca media-media terbitan AS, tanpa disadari ada penekanan pada sudut pandang para pengambil keputusan di AS atas Iran sehingga muncul pembahasan, Iran sedang melakukan permainan “adu nyali”(chicken game) atau bahwa penting bagi semua pihak untuk menjauhkan senjata nuklir dari tangan para mulah yang otoriter.

Sulit menemukan sisi pembuktian tentang niat Iran yang sesungguhnya dalam artikel-artikel tersebut.Apakah jumlah fasilitas pengayaan uranium, ilmuwanataukepemilikanreaktor heavy water di sana berarti Iran sedang mengembangkan senjata nuklir? Bukankah kepemilikan atas komponen dan bahan baku senjata nuklir belum tentu berarti kepemilikan akan senjata nuklir? Di pihak lain,ketika berhadapan dengan berita-berita dari Iran, yang muncul adalah pernyataan-pernyataan defensif dari para petinggi di republik itu. Ada pula pernyataan, mereka tidak takut bila sampai diserang AS.

Ketika kedua sudut pandang itu dibaca orang-orang awam,yang muncul kesan bahwa Iran adalah pembangkang yang gemar dan siap perang. Istilah yang dipakai di mediamedia AS adalah defiant dan belligerent. Ketika pihak pro- Iran menjawab tuduhan tersebut “kekanak-kanakan” atau “tidak berdasar”, hal itu tidak mengurangi kesan Iran memang perlu diwaspadai. Inilah perang dingin di mana informasi, persepsi, dan perilaku publik dibatasi dan dipengaruhi agar jangan sampai berita yang riil justru bocor ke publik. Sebenarnya perang macam ini bukan hal baru bagi Indonesia.

Generasi yang pernah hidup di zaman perang dingin antara AS dan Uni Soviet masih ada dan bisa menceritakan selukbeluk serta kerepotan hidup di zaman itu. Dibandingkan Uni Soviet, Iran memang belum seberapa karena dia merupakan pendatang baru dalam hal mendorong agenda ideologi ke tataran dunia global. Namun terlepas dari itu semua, Indonesia sebaiknya tidak terjebak dalam dikotomi “percaya pada Iran atau pada AS”. Indonesia sebagai negara besar yang juga berpenduduk mayoritas muslim selayaknya bisa lebih bijak dengan cara bisa melihat gambar besar dan tidak lupa pada kepentingan nasional Indonesia.

Misalnya, Indonesia dikenal sebagai salah satu pendukung NPT (non-proliferation treaty) yang patuh.Kesepakatan internasional itu menggarisbawahi bahwa perlucutan senjata dan penghindaran terhadap pengembangbiakan (proliferasi) senjata nuklir adalah suatu etika bersama yang patut dijaga walaupun di sisi lain diakui, semua negara di dunia punya hak untuk mengembangkan teknologi nuklir secara damai.

Satu hal yang layaknya dikenali Indonesia adalah,NPT memiliki daya diplomasi tinggi untuk mencairkan suasana perang dingin yang sedang berkembang. Ini poin saya yang kedua. Kenyataannya memang belum ada negara dunia mana pun yang punya kecukupan energi, padahal di pihak lain, ketidakcukupan tersebut kerap dijadikan penekan oleh negara lain. Contohnya Rusia yang bisa menghentikan pasokan gas ke Eropa atau AS dan China yang kebingungan mencari sumber kecukupan energi bagi penduduknya. Indonesia pun harus diakui sedang mengalami problem serupa.

Maka, daripada terjebak dalam dikotomi ada atau tidak senjata nuklir di Iran, mengapa tidak mengampanyekan kerja sama pengembangan teknologi nuklir untuk keperluan pembangkit tenaga listrik dan energi? Tentu butuh keberanian untuk menghadapi tekanan pihakpihak yang tidak setuju di dalam negeri sendiri atau dari pihak pengusaha minyak, tetapi realitasnya, kecukupan energi merupakan kebutuhan semua negara untuk bertumbuh secara ekonomi. Melalui ini, Iran bisa dilibatkan dalam dialog konstruktif tanpa Indonesia mengorbankan ideologi bangsa ini,yakni Pancasila.

Di sinilah kepiawaian para diplomat Indonesia dituntut agar perang dingin tidak memenjarakan Indonesia dalam ketidakberdayaan. Pernyataan- pernyataan pimpinan negara dan diplomat Indonesia pun perlu mencerminkan kepiawaian itu. Inilah esensi politik luar negeri bebas aktif; bisa mencari arah baru yang mencerahkan bagi semua pihak, bebas dari tekanan negara lain, dan aktif memperjuangkan kemaslahatan umat manusia. 

DINNA WISNU PHD
Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina

Tidak ada komentar:

Posting Komentar