: Abdurrahman Wahid
Beberapa hari setelah tertembaknya Dr. Azahari di
Batu, Jawa Timur, Habib Rizieq menyatakan (dalam hal ini membenarkan ungkapan)
bahwa pelaku terorisme di Indonesia itu akan masuk surga. Ia menyampaikan rasa
simpati dan menilainya sebagai orang yang mati syahid. Pernyataan ini seolah
memperkuat pendapat seorang teroris yang direkam dalam kepingan CD, mati dalam
pemboman di Bali akan masuk surga. Ini tentu karena si teroris yakin akan hal
itu. Dengan demikian jelas bahwa motif tindakannya dianggap melaksanakan ajaran
agama Islam. Ungkapan ini sudah tentu dalam membenarkan dan menyetujui tindak
kekerasan atas nama Islam. Benarkah demikian?
Pertama-tama, harus
disadari bahwa tindak teroristik adalah akibat dari tidak efektifnya cara-cara
lain untuk `menghadang’ , apa yang dianggap sang teroris sebagai, hal yang
melemahkan Islam. Bentuk tindakan itu dapat saja berbeda-beda namun intinya
sama, yaituanggapan bahwa tanpa kekerasan agama Islam akan `dikalahkan’ oleh
hal-hal lain, termasuk modernisasi `model Barat’. Tak disadari para teroris,
bahwa respon mereka bukan sesuatu yang murni dari agama Islam itu sendiri.
Bukankah dalam tindakannya para teroris juga menggunakan penemuan-penemuan dari
Barat? Ini terbukti dari berbagai alat yang digunakan, seperti perkakas
komunikasi dan alat peledak. Bukankah ini menunjukkan hipokritas yang luar
biasa dalam memandang kehidupan?
Demikian kuat keyakinan itu tertanam dalam hati
para teroris, sehingga sebagian mereka bersedia mengorbankan jiwa sendiri
dengan melakukan bom bunuh diri. Selain itu juga karena adanya
orang-orang mendukung gerakan teroris itu. Patutlah dari sini kita
memeriksa kebenaran pendapat itu. Tanpa pendekatan itu, tinjauan kita akan
dianggap sebagai `buatan musuh’. Kita harus melihat perkembangan sejarah Islam
yang terkait dengan hal ini sebagai perbandingan.
Dalam sejarah Islam yang panjang, ada tiga kaum
dengan pendapat penting yang berkembang. Kaum Khawarij menganggap penolakan
terhadap setiap penyimpangan sebagai kewajiban agama. Dari mereka inilah lahir
para teroris yang melakukan pembunuhan demi pembunuhan atas orang-orang yang
mereka anggap meninggalkan agama. Lalu ada kaum Mu’tazilah, yang menganggap
bahwa kemerdekaan manusia untuk mengambil pendapat sendiri tanpa batas dalam
ajaran Islam. Mereka menilai adanya pembatasan apapun akan mengurangi kebebasan
manusia. Di antara dua pendapat yang saling berbeda itu, ada kaum Sunni yang
berpandangan bahwa kaum muslimin memiliki kebebasan dengan batas-batas yang
jelas, yaitu tidak dipekenankan melakukan tindakan yang diharamkan oleh ajaran
agama Islam, salah satunya bunuh diri.
Mayoritas kaum muslim di seluruh dunia mengikuti
garis Sunni ini dan menggunakan paham itu sebagai batasan perlawanan terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi. Karenanya, penulis yakin bahwa orang yang
membenarkan terorisme itu berjumlah sangat kecil. Itulah sebabnya, dalam sebuah
keterangan pers penulis menyatakan bahwa Islam garis keras seperti Front
Pembela Islam (FPI) yang dipimpin Habib Rizieq, adalah kelompok kecil dengan
pengaruh sangat terbatas. Ini adalah kenyataan sejarah yang tidak dapat
diabaikan sama sekali. Akibat dari anggapan sebaliknya, sudah dapat dilihat
dari sikap resmi aparat penegak hukum kita yang terkesan tidak mau mengambil
tindakan-tindakan tegas terhadap mereka itu.
Kita perlu mendudukkan persoalannya pada rel yang
wajar. Pertama, pandangan para teroris itu bukanlah pandangan umat Islam yang
sebenarnya. Ia hanyalah pandangan sejumlah orang yang salah bersikap melihat
sejumlah tantangan yang dihadapi ajaran agama Islam. Kedua, pandangan itu
sendiri bukanlah pendapat mayoritas. Selain itu, terjadi kesalahan pandangan
bahwa hubungan antara agama dan kekuasaan akan menguntungkan pihak agama.
Padahal sudah jelas, dari proses itu sebuah agama akan menjadi alat pengukuh
dan pemelihara kekuasaan. Jika sudah demikian agama akan kehilangan peran yang
lebih besar, yaitu inspirasi bagi pengembangan kemanusiaan. Selain itu juga
akan mengurangi efektivitas peranan agama sebagai pembawa kesejahteraan.
Agama Islam dalam al-Qur’an al-Karim
memerintahkan kaum muslimin untuk menegakkan keadilan, sesuai dengan firman
Allah “Wahai orang-orang yang beriman, tegakkan keadilan” (Ya ayyuha al-ladzina
amanu kunu qawwamina bi al-qisthi). Jadi yang diperintahkan bukanlah berbuat
keras, tetapi senantiasa bersikap adil dalam segala hal. Begitu juga dalam
kitab suci banyak ayat yang secara eksplisit memerintahkan kaum muslimin agar
senantiasa bersabar. Tidak lupa pula, selalu ada perintah untuk memaafkan
lawan-lawan kita. Jadi sikap `lunak’ dan moderat bukanlah sesuatu yang
bertentangan dengan ajaran agama Islam. Bahkan sebaliknya sikap terlalu keras
itulah yang `keluar’ dari batasan-batasan ajaran agama.
Berbeda dari klaim para teroris, Islam justru
mengakui adanya perbedaan-perbedaan dalam hidup kita. Al-Qur’an menyatakan
“Sesungguhnya Ku-ciptakan kalian sebagai lelaki dan perempuan dan Ku-jadikan
kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa untuk saling mengenal” (Inna
khalaqnakum min dzakarin wa untsa wa ja’alnakum syu’uban wa qabaila li
ta’arafu). Dari perbedaan itu, Allah Swt memerintahkan “berpeganglah kalian
pada tali Allah dan janganlah terpecah belah” (wa i’tashimu bi habl Allah
jami’an wa la tafarraqu). Berbagai perkumpulan hanyalah menandai adanya
kemajemukan/ pluralitas di kalangan kaum muslimin, sedangkan aksi para teroris
itu adalah sumber perpecahan umat manusia.
Kebetulan, negara kita berpegang kepada ungkapan
Empu Tantular`Bhinneka Tunggal Ika’ (berbeda-beda namun tetap satu juga). Kaum
muslimin di negeri ini telah sepakat untuk menerima adanya negara yang bukan
negara Islam. Ia dicapai dengan susah payah melalui cara-cara damai. Jadi
patutlah hal ini dipertahankan oleh kaum muslimin. Karena itu, kita menolak
terorisme dalam segala bentuk. Jika mereka yang menyimpang belum tentu masuk
surga, apalagi mereka yang memberikan `rekomendasi’ untuk itu.