Berbagi Pengetahuan

Blog ini dibuat sebagai kliping media.

Semoga bermanfaat

Minggu, 30 September 2012

Surga dan Agam


: Abdurrahman Wahid
Beberapa hari setelah tertembaknya Dr. Azahari di Batu, Jawa Timur, Habib Rizieq menyatakan (dalam hal ini membenarkan ungkapan) bahwa pelaku terorisme di Indonesia itu akan masuk surga. Ia menyampaikan rasa simpati dan menilainya sebagai orang yang mati syahid. Pernyataan ini seolah memperkuat pendapat seorang teroris yang direkam dalam kepingan CD, mati dalam pemboman di Bali akan masuk surga. Ini tentu karena si teroris yakin akan hal itu. Dengan demikian jelas bahwa motif tindakannya dianggap melaksanakan ajaran agama Islam. Ungkapan ini sudah tentu dalam membenarkan dan menyetujui tindak kekerasan atas nama Islam. Benarkah demikian?
Pertama-tama, harus disadari bahwa tindak teroristik adalah akibat dari tidak efektifnya cara-cara lain untuk `menghadang’ , apa yang dianggap sang teroris sebagai, hal yang melemahkan Islam. Bentuk tindakan itu dapat saja berbeda-beda namun intinya sama, yaituanggapan bahwa tanpa kekerasan agama Islam akan `dikalahkan’ oleh hal-hal lain, termasuk modernisasi `model Barat’. Tak disadari para teroris, bahwa respon mereka bukan sesuatu yang murni dari agama Islam itu sendiri. Bukankah dalam tindakannya para teroris juga menggunakan penemuan-penemuan dari Barat? Ini terbukti dari berbagai alat yang digunakan, seperti perkakas komunikasi dan alat peledak. Bukankah ini menunjukkan hipokritas yang luar biasa dalam memandang kehidupan?
Demikian kuat keyakinan itu tertanam dalam hati para teroris, sehingga sebagian mereka bersedia mengorbankan jiwa sendiri dengan melakukan bom bunuh diri. Selain itu juga karena adanya orang-orang  mendukung gerakan teroris itu. Patutlah dari sini kita memeriksa kebenaran pendapat itu. Tanpa pendekatan itu, tinjauan kita akan dianggap sebagai `buatan musuh’. Kita harus melihat perkembangan sejarah Islam yang terkait dengan hal ini sebagai perbandingan.
Dalam sejarah Islam yang panjang, ada tiga kaum dengan pendapat penting yang berkembang. Kaum Khawarij menganggap penolakan terhadap setiap penyimpangan sebagai kewajiban agama. Dari mereka inilah lahir para teroris yang melakukan pembunuhan demi pembunuhan atas orang-orang yang mereka anggap meninggalkan agama. Lalu ada kaum Mu’tazilah, yang menganggap bahwa kemerdekaan manusia untuk mengambil pendapat sendiri tanpa batas dalam ajaran Islam. Mereka menilai adanya pembatasan apapun akan mengurangi kebebasan manusia. Di antara dua pendapat yang saling berbeda itu, ada kaum Sunni yang berpandangan bahwa kaum muslimin memiliki kebebasan dengan batas-batas yang jelas, yaitu tidak dipekenankan melakukan tindakan yang diharamkan oleh ajaran agama Islam, salah satunya bunuh diri.
Mayoritas kaum muslim di seluruh dunia mengikuti garis Sunni ini dan menggunakan paham itu sebagai batasan perlawanan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Karenanya, penulis yakin bahwa orang yang membenarkan terorisme itu berjumlah sangat kecil. Itulah sebabnya, dalam sebuah keterangan pers penulis menyatakan bahwa Islam garis keras seperti Front Pembela Islam (FPI) yang dipimpin Habib Rizieq, adalah kelompok kecil dengan pengaruh sangat terbatas. Ini adalah kenyataan sejarah yang tidak dapat diabaikan sama sekali. Akibat dari anggapan sebaliknya, sudah dapat dilihat dari sikap resmi aparat penegak hukum kita yang terkesan tidak mau mengambil tindakan-tindakan tegas terhadap mereka itu.
Kita perlu mendudukkan persoalannya pada rel yang wajar. Pertama, pandangan para teroris itu bukanlah pandangan umat Islam yang sebenarnya. Ia hanyalah pandangan sejumlah orang yang salah bersikap melihat sejumlah tantangan yang dihadapi ajaran agama Islam. Kedua, pandangan itu sendiri bukanlah pendapat mayoritas. Selain itu, terjadi kesalahan pandangan bahwa hubungan antara agama dan kekuasaan akan menguntungkan pihak agama. Padahal sudah jelas, dari proses itu sebuah agama akan menjadi alat pengukuh dan pemelihara kekuasaan. Jika sudah demikian agama akan kehilangan peran yang lebih besar, yaitu inspirasi bagi pengembangan kemanusiaan. Selain itu juga akan mengurangi efektivitas peranan agama sebagai pembawa kesejahteraan.
Agama Islam dalam al-Qur’an al-Karim memerintahkan kaum muslimin untuk menegakkan keadilan, sesuai dengan firman Allah “Wahai orang-orang yang beriman, tegakkan keadilan” (Ya ayyuha al-ladzina amanu kunu qawwamina bi al-qisthi). Jadi yang diperintahkan bukanlah berbuat keras, tetapi senantiasa bersikap adil dalam segala hal. Begitu juga dalam kitab suci banyak ayat yang secara eksplisit memerintahkan kaum muslimin agar senantiasa bersabar. Tidak lupa pula, selalu ada perintah untuk memaafkan lawan-lawan kita. Jadi sikap `lunak’ dan moderat bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Bahkan sebaliknya sikap terlalu keras itulah yang `keluar’ dari batasan-batasan ajaran agama.
Berbeda dari klaim para teroris, Islam justru mengakui adanya perbedaan-perbedaan dalam hidup kita. Al-Qur’an menyatakan “Sesungguhnya Ku-ciptakan kalian sebagai lelaki dan perempuan dan Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa untuk saling mengenal” (Inna khalaqnakum min dzakarin wa untsa wa ja’alnakum syu’uban wa qabaila li ta’arafu). Dari perbedaan itu, Allah Swt memerintahkan “berpeganglah kalian pada tali Allah dan janganlah terpecah belah” (wa i’tashimu bi habl Allah jami’an wa la tafarraqu). Berbagai perkumpulan hanyalah menandai adanya kemajemukan/ pluralitas di kalangan kaum muslimin, sedangkan aksi para teroris itu adalah sumber perpecahan umat manusia.
Kebetulan, negara kita berpegang kepada ungkapan Empu Tantular`Bhinneka Tunggal Ika’ (berbeda-beda namun tetap satu juga). Kaum muslimin di negeri ini telah sepakat untuk menerima adanya negara yang bukan negara Islam. Ia dicapai dengan susah payah melalui cara-cara damai. Jadi patutlah hal ini dipertahankan oleh kaum muslimin. Karena itu, kita menolak terorisme dalam segala bentuk. Jika mereka yang menyimpang belum tentu masuk surga, apalagi mereka yang memberikan `rekomendasi’ untuk itu.

Jumat, 28 September 2012

FILOLOGI DI PESANTREN (3) Urgensi Filologi bagi Pesantren, NU dan Kemenag RI


Jumat, 21/09/2012 08:27

Oleh Fathurrahman Karyadi


Pada 16 September 2012, kami berbincang-bincang bersama mantan Dubes RI untuk Lebanon, H Abdullah Syarwani. Beliau menceritakan perihal pembajakan kitab Sirâj al-Thâlibîn karya Syaikh Ihsan Jampes Kediri oleh salah satu penerbit besar di Lebanon. Pihak penerbit telah mengakui kesalahannya dan bersedia mentashih serta menarik peredaran kitab tersebut. Ini juga yang beliau sampaikan kepada pihak PBNU.

Di samping kesalahan penerbit dalam mencantumkan nama penulis kitab menjadi Syaikh Ahmad Zaini Dahlan (Makkah), kata pengantar (taqrîdz) juga dihapus. Diantaranya ditulis oleh Kiai Hasyim Asy’ari dan para pengasuh pesantren Jawa Timur saat itu. Dalam sejarahnya, kitab ini pertama kali diterbitkan oleh penerbit Salim Nabhan di Surabaya pada awal tahun 1950-an, dan tahun 1955 diterbitkan penerbit al-Babi Al-Halabi Mesir, dan pada tahun 1990-an diterbitkan Darul Fikr Lebanon. Baru pada 2006 diterbitkan oleh penerbit Darul Kutub Al-Ilmiyah Lebanon dengan nama pengarang yang berbeda.

Beliau juga menghimbau kepada kami agar generasi muda pesantren betul-betul menjaga warisan leluhur. Jangan sampai tragedi di atas kembali terulang. Salah satu upaya yang bisa ialah dengan banyak menulis biografi ulama nusantara, mengkaji kitabnya juga mempublikasikannya. Beliau memberi apresiasi baik ketika kami beritahu bahwa kami tengah meneliti kitab Tanbîh al-Muta’allim sebagai bahan skripsi. Kitab ini merupakan karya pena Kiai Maisur Sindi Atthursidi berupa puisi (nazham) atas materi akhak yang pernah disampaikan guru beliau Kiai Hasyim Asy’ari.

KH Salahuddin Wahid yang mendampingi H Abdullah Syarwani menuturkan bahwa beberapa tahun lalu, ratusan manuskrip di Aceh hendak dibeli oleh peneliti dari Barat. Pemerintah Aceh tidak mengizinkan, dan ironinya naskah tersebut pun tidak dimanfaatkan. Bangsa ini memang kekurangan peneliti, terutama ahli filolog. Ada seorang sahabat H Abdullah Syarwani yang menjadi ketua perpustakaan di Leiden Belanda. Ini menunjukkan sebenarnya negeri ini potensi memiliki banyak pakar dan ilmuwan tetapi tidak ”teropeni” dengan baik. Justru dimanfaatkan oleh pihak luar.

Menarik untuk diulas, The Wahid Institute pernah mengadakan acara Abdurrahman Wahid Memorial Lecture (AWML) dengan salah satu pemateri Dr Oman Fathurahman. Koodinator Islamic Manusript Unit UIN Jakarta ini berhasil merekam cerita sejarah yang tak tercatat di media, yakni aksi Gus Dur menitipkan 67 manuskrip asal pesantren-pesantren di Jawa Timur ke Perpustakaan Nasional RI (Perpusnas) di awal tahun 1993. Koleksi manuskrip Gus Dur kemudian diberi kode “AW” dalam katalog Tim Behrend dkk. (1998) itu, kini menjadi salah satu di antara 18 koleksi naskah Perpusnas yang ditulis dalam beragam bahasa dan aksara.

Jauh sebelum itu Gus Dur pernah mengulas sosok Kiai Mas’ud dari Kawunganten, Purwokerto sebagai kiai yang memiliki hobi dan semangat memburu kitab (Tempo, 18 September 1982). Berkat  ‘perburuan’nya yang intensif Kiai Mas’ud berhasil menemukan naskah unik karya Kiai lhsan Jampes selain kitab Sirâj al-Thâlibîn yaitu Manâhîj al-Imdâd. Kitab itu berada pada Syaikh Yasin bin Isa al-Fadani dan bersedia akan dicetaknya di Makkah. Kini kitab tersebut sudah diterbitkan oleh pihak keluarga Pesantren Jampes pada tahun 2005 setebal 1050 halaman yang terdiri dari dua jilid.
***
Dua hari setelah bertemu mantan Dubes RI itu kampus kami kedatangan peneliti dari Litbang Kemenag RIMulyani Mudis Taruna. Dalam FGD (Focus Group Discussion) bertajuk ”Eksistensi, Legalitas dan sistem pembelajaran Ma’had Aly” yang dihadiri oleh Rektor, Dosen dan 20 Mahasiswa itu, Mudis menyampaikan beberapapa usulan. Diantarnya terkait tentang metode penelitian. Menurutnya, selain metode kuantitatif dan kualitatif, Mahasiswa Ma’had Aly—atau lembaga perguruan tinggi di pesantren lainnya—etidaknya ditambah dengan metode Filologi. Apalagi jika jurusan yang didalami adalah syariah, dimana kajian fikih dan ushul fikih memiliki porsi paling dominan daripada yang lain.

Kami sangat setuju dengan usulan tersebut. Jika perlu segera dilaksanakan. Entah apakah ini tugas lembaga pesantren pribadi untuk mendatangkan dosen pembimbing filologi ataukah dari Kemenag RI? Syukur-syukur PBNU ikut terlibat dalam hal ini, mengingat pesantren nusantara mayoritas berbasis NU. Wallahu a’lam

* Mahasiswa Ma’had Aly Tebuireng Jombang dan peminat filologi
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,39884-lang,id-c,kolom-t,Urgensi+Filologi+bagi+Pesantren++NU+dan+Kemenag+RI-.phpx

ILOLOGI DI PESANTREN (2) Manuskrip Pesantren Mengubah Dunia


Kamis, 20/09/2012 09:33

Oleh Fathurrahman Karyadi

Pasca wafatnya Gus Ishom Hadzik (2003) tugas penelusuran manuskrip atau naskah-naksah kuno di Pesantren Tebuireng menjadi mandek. Akibatnya karya-karya emas Hadratus Syaikh KH M Hasyim Asy'ari yang belum terlacak sulit untuk ditemukan kembali.
Adik beliau, Agus Zakki Hadzik terdorong untuk terjun meneruskan jejak yang pernah dirintis sang kakak sejak tahun 1994 itu. Kerja keras tersebut akhirnya membuahkan hasil. Kitab Kiai Hasyim menjadi semakin lengkap dengan diterbitkannya kompilasi berjudul Irsyâd al-Sârî. 

Di antaranya kitab-kitab yang baru ditemukan adalah Al-Jâsus fi Ahkâm al-Nâqus. Isinya  mengulas polemik Kiai Hasyim tentang hukum menabuh kentongan di masjid sebagai tanda masuknya waktu shalat. Kitab sederhana ini mendapat dukungan oleh banyak ulama. KH Wahab Hasbullah beserta lima kiai lainnya bahkan turut menyumbangkan al-taqrîdz atau andersoment di halaman akhir.

Kitab Manâsik al-Sughrâ yang sejak lama dicari-cari pun akhirnya berhasil ditemukan. Bahkan kitab tersebut sempat menjadi rujukan utama Kementrian Agama RI dalam menyusun buku panduan haji dan umrah. Isinya cukup ringkas namun lengkap mencakupi rukun, wajib dan sunnah dalam bermanasik.

Sedangkan tiga naskah selanjutnya berupa risalah kecil berisi doa Hizb al-Falâh, jimat Asma’ Nabi serta resume sanad kitab-kitab hadits yang beliau dapat dari Syaikh Mahfudz al-Tarmasi. Dengan ditemukannya naskah-naskah emas karya Kiai Hasyim tersebut sesudah pasti akan membawa manfaat luas kepada umat muslim terutama warga NU dan kaum pesantren. Buah pikir beliau dapat dibaca kembali setelah beberapa tahun silam tenggelam akibat naskah yang hilang.

Menelusuri Manuskrip

Pengasuh Pesantren Tebuireng, KH Salahuddin Wahid pernah mengelar rapat di ndalem kesepuhan guna membahas kelanjutan karya-karya Kiai Hasyim. Kebetulan saya termasuk dari enam orang yang hadir dalam rapat tersebut. Di samping akan mengadakan penerjemahan seluruh karya Kiai Hasyim, juga penelusuran manuskrip yang belum terbit akan lebih dioptimalkan.

Meski hanya seorang santri biasa saya berusaha keras ikut membantu demi tersebarnya karya Kiai Hasyim ke publik. Dan alhamdulillah ada beberapa naskah yang berhasil saya temukan. Di antaranya ialah; Pertama, naskah satu lembar tanpa judul mengulas tentang akidah atau teologi. Setelah dikaji ulang ternyata naskah tersebut serupa dengan kitab Majmû' Rasâil yang  diterbitkan oleh Salim Nabhan Surabaya pada tahun 1930. Isinya beberapa kitab karya Kiai Murtadha Tuban dan dua risalah karya Kiai Hasyim. Di sana risalah tersebut diberi judul Risâlah al-‘Aqâid. 

Kedua, masih berupa naskah satu lembar tanpa judul. Dan ternyata ia juga terhimpun dalam kitab sebelumnya. Berjdul Risâlah fi al-Tauhîd. Isi kandungannya cukup sistematis dan ringkas. Kiai Hasyim menjabarkan dengan gamblang tentang makna Islam, Iman dan Ihsan. Ketiga, sebuah naskah kuno yang pernah diperbanyak oleh Kiai Ahyad bin Arsyad Kediri dengan angka tahun 1352 H (81 tahun silam). Isinya mengulas hukum-hukum yang berkenaan dengan masjid.

Keempat, nasihat tiga perkara mengenai singkronisasi ilmu fikih, tasawuf dan aqidah. Naskah berupa sobekan kertas dalam berbahasa Arab. Kelima, otobiografi Kiai Hasyim yang beliau tulis sendiri saat studi di Makkah al-Mukarramah. Terlampir pula sanad kitab Shahih Bukhari, Muslim dan Muwattha'. Naskah ini ditulis pada tahun 1349 H. Tradisi Kiai Hasyim setelah kitab yang dkaji bersama para santri kahatam, beliau memberikan sanad kitab tersebut yang bersambung sampai kepada pengarang. Bahkan menurut penuturan KH. Abdul Muhith Muzadi yang pernah kami wawancarai, dahulu sebelum Tebuireng memiliki percetakan sendiri, Kiai Hasyim menulis sanad sebuah kitab di atas tiga papan tulisan dan semua peserta didik harus menulisnya.

Kelima, naskah sanad fiqih yang bersambung kepada Rasulullah SAW melalui Imam Syafii. Naskah asli masih berupa tulisan tangan beliau model riq’ah. Tampaknya naskah ini belum pernah terpublikasi. Bahkan para kiai dan ketua PBNU pun bisa dipastikan belum mengetahuinya. Ini merupakan data terpenting karena merupakan mata rantai leluhur warga NU.

Keenam, al-Durar al-Muntatsirah yang menjelaskan tentang tarekat, kewalian dan tasawwuf. Format penulisan menggunakan tanya jawab interaktif sebanyak 19 soal. Kemudian ada lembaran terpisah berjdul Susulan yang ternyata berupa tambahan satu soal sehingga menjadi lengkap 20 soal tanya jawab.

Dari beberapa naskah di atas kemudian kami terjemahkan dalam bahasa Indonesia. Kini sudah terbit dengan judul ”Beragama Baik dan Benar menurut Hadratus Syaikh” setebal 66 halaman. Buku kecil itu mendapat kata pengantar dari Pengasuh Pesantren Tebuireng.

Kemudian pada November 2011 buku tersebut menjadi objek penelitian dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, Ahmad Musyafiq, M.Ag. dari penelitian itu lalu terbit bukunya berjudul ”Reformasi Tasawuf KH M Hasyim Asy’ari” setebal 182 halaman.

Dimana Manuskrip Berada? 

Belajar dari penelusuran naskah Hadratus Syaikh kami mendapat banyak pelajaran sekalipun kami belum pernah menerima materi filologi. Naskah-naskah para tokoh biasanya disimpan oleh ahli waris; putra ataupun cucu. Jika mereka tidak menyimpannya, maka kemungkinan besar adalah murid langsung para tokoh tersebut dan para ahli warisnya.

Di samping menghubungi person secara langsung, tak menutup kemungkinan di museum atau perpustakaan besar ikut menyimpannya. Seperti naskah Kiai Hasyim berjdul Tamyîz al-Haqq min al-Bâthil. Ternyata tersimpan di Museum NU di Surabaya sedangka keluarga dan murid beliau tidak memilikinya. Alhamdulillah berkat kerjasama dengan pengelola museum kami berhasil memfotocopy kitab tersebut yang rencananya ke depan akan diterbitkan kembali oleh Pustaka Tebuireng dengan edisi terjemahan serta transkip naskah asli.

Informasi terkini, banyak pula naskah para ulama nusantara yang ternyata tersimpan di perpustakaan besar di luar negeri. Seperti kitab Jawâz al-Taqlîd wa Hurmat al-Ijtihâd karya Hadratus Syaikh yang tersimpan di Leiden Library, Netherland, Belanda. Ungtungnya, kitab itu sudah bisa diambil kembali oleh pihak keluarga dan kini disimpan Agus Zakki Hadzik. Kalau saja tidak diselamatkan pasti naskah berharga itu akan raib.

Oleh karenanya, mari kita selamatkan naskah-naskah leluhur pesantren. Siapa tahu dari naskah-naskah tersebut terdapat karya fenomenal yang akan merubah dunia. Seperti karya Kiai Ihsan Jampes yang mampu mengguncang negeri Mesir dan Maroko karena kehebatan beliau dalam mengomentari kitab agung Imam Ghazali Minhâj al-’ Âbidîn. 


* Mahasiswa Ma’had Aly Tebuireng Jombang dan peminat filologi.
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,39850-lang,id-c,kolom-t,Manuskrip+Pesantren+Mengubah+Dunia-.phpx

FILOLOGI DI PESANTREN (1) Pesantren Jangan Buta Filologi


Rabu, 19/09/2012 08:30

Oleh Fathurrahman Karyadi

Beberapa waktu lalu kami berkesempatan berkunjung ke sebuah pesantren tua di Jawa Timur. Oleh seorang pengurus pesantren, kami diajak keliling menelusuri ruang dan gedung yang boleh dikunjungi tamu. Sampailah di ruang yang cukup besar dengan interior menarik. Di sana terdapat beberapa lemari kaca besar yang dilengkapi dengan lampu sorot. Setelah kami dekati ternyata lemari itu adalah tempat penyimpanan manuskrip kuno yang bisa dilihat siapa saja yang menginginkannya. Menarik sekali sebuah pesantren menaruh perhatian lebih kepada dunia manuskrip.

Kami yakin hanya beberapa pesantren saja yang sudah melakukan hal serupa di atas. Masih banyak pesantren-pesantren tua yang belum ”tergugah” untuk menyelamatkan manuskrip para leluhurnya. Naskah-naskah kuno yang menyimpan banyak ilmu itu dibiarkan saja tanpa dimanfaatkan secara luas. Sengaja disimpan di lemari khusus yang tak bisa diakses banyak orang. Padahal itu adalah aset bangsa dan cagar budaya yang harus dilestarikan dan dipelajar oleh generasi selanjutnya.

Filologi 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan filologi adalah ilmu tentang bahasa, kebudayaan, pranata,dan sejarah suatu bangsa sebagaimana terdapat dalam bahan-bahan tertulis. Sedangkan filologis bisa diartikan mengenai atau berdasarkan, secara filologi. Dan orang yang ahli dalam bidang itu disebut filolog. Sementara itu, menurut Nabilah Lubis (2001: 16) pengertian filologi adalah pengetahuan tentang sastra-sastra dalam arti luasmencakup bidang bahasa, sastra dan kebudayaan.

Singkatnya, filologi merupakan ilmu khusus mempelajari naskah disertai pembahasan dan penyelidikan kebudayaan bangsa berdasarkan manuskrip atau naskah klasik yang biasanya tertulis pada media kulit hewan, kayu, bambu, lontar, dan kertas. Dari mansukrip itulah orang dapat mengetahui latar belakang kehidupan masyarakat pada zaman dahulu. Baik khazanah keaagamaan, adat istiadat, kesenian, bahasa, pendidikan, hikayat, resep masakan dan pengobatan.

Dalam Undang-Undang no.5 tahun 1992, manuskrip dikategorikan sebagai benda cagar budaya. Hanya orang memang lebih sering menyebut, pasti karena ketidaktahuannya, arca, masjid, makam, atau artefak lain belaka ketimbang naskah kuno, ketika menyebut soal benda cagar budaya nasional itu. Padahal, dari segi jumlah saja, naskah kuno, yang berisi rekam jejak berbagai aspek kehidupan dan tradisi masa lalu kita itu, berlipat-lipat jauh lebih banyak dalam beragam bahasa dan aksara, serta lebih rentan musnah karena bahan kertas yang digunakannya.

Tokoh dari Pesantren

Ada beberapa tokoh cendikiawan muslim dari Pesantren yang bisa dikatakan sebagai filolog, ahli filologi. Di antaranya KH Maimun Zubair, KH Sahal Mahfudz dan KH Abdul Qayyum Manshur. Ketiganya bersentuhan langsung dengan karya agung Syaikh Mahfudz al-Tarmasi (1868-1920), guru pendiri NU Hadratus Syaikh KH M Hasyim Asy’ari. Kiai Maimun men-tahqiq kitab Syaikh Mahfudz bertajuk Nabi Hidr As dengan judul Inayah al-Muftaqarr. Kitab itu merupakan saduran dari Imam Ibnu Hajar al-Asqalani. Tampaknya naskah asli dari kitab tersebut hanya dimiliki oleh Kiai Maimun saja. Diterbitkan oleh Pesantren al-Anwar Sarang Rembang tahun 2007.

Berkenaan dengan karya Syaikh Mahfudz, Kiai Sahal banyak mengutip pendapat Syaikh Mahfudz dalam bidang ushul fiqh. Beliau memiliki naskah-naskah Syaikh Mahfudz yang belum terbit (makhtuthtath) dan mempublikasikannya dengan menjadikan naskah tersebut sebagai rujukan utama dalam kitab-kitab beliau seperti Thariqah al-Husul ila Ghayah al-Wushul, Al-Bayan al-Mulamma’ ‘an Alafazh al-Luma’ dan sebagainya.

Sedangkan Gus Qayyum beliau juga menyimpan beberapa naskah ulama nusantara yang belum terbit. Ayahnya adalah Kiai Manshur yang termasuk murid Syaikh Mahfudz di Makkah. Ke depan beliau hendak menerbitkan kitab-kitab tersebut karena dianggap sangat urgen bagi khazanah keislaman Indonesia.

Tidak tinggal diam, ternyata Kementrian Agama RI menaruh perhatian dalam menyelamatkan naskah-naskah pesantren. Beberapa santri dan ustadz diberi beasiswa untuk mendalami Filologi di UIN Yogyakarta. Berkat jerih payah itu, kini sudah terbit beberapa kitab hasil garapan santri filolog itu seperti kitab Manhaj Dzawi al-Nadzar (817 hal), al-Minhah al-Khairiyyah (86 hal) dan al-Khi’ah al-Fikriyah (342 hal). Ketiganya merupakan karya Syaikh Mahfudz al-Tarmasi di bidang hadtis.

Perpustakaan Pesantren

Sebenarnya banyak langkah untuk menyelamatkan naskah-naksah pesantren dan mengembangkan ilmu filologi di pesantren. Diantaranya dengan memaksimalkan peran perpustakaan. Katalog perpustakaan pesantren jangan hanya monoton pada judul-judul kitab kuning klasik. Tetapi perkaya pula dengan ilmu-ilmu umum terlebih tentang sejarah, sastra, filologi, tekstologi, arkeologi, geografi dan jurnalistik. Di samping itu pula perpus pesantren harus memiliki tenaga yang berkompeten. Sehingga perpustakaan bisa terus berkembang bukan hanya karena katalog buku yang bertambah tetapi juga dengan diskusi serta menjalin hubungan dengan perpustakaan lain baik di dalam negeri maupun luar.

Pesantren Tebuireng kini dalam tahap di atas, melengkapi koleksi buku dari berbagai macam displin ilmu serta mendatangkan pustakawan handal alumnus Leiden Library, Belanda. Dengan hadirnya Muhammad As’ad di perpustakaan Pesantren Tebuireng harapan menuju standar perpustakaan pesantren nasional akan terlaksana dengan mudah. Sehingga para pengunjung tidak hanya menikmati koran atau buku yang sudah terbit tetapi naskah asli puluhan atau bahkan ratusan tahun silam bisa mereka teliti di sana.

Semoga para pimpinan pesantren tergugah untuk benar-benar menyelamatkan manuskrip pesantrennya, bukan hanya disimpan dalam lemari pribadi tetapi menaruhnya di perpustakaan pesantren untuk bisa dinikmati oleh semua pengunjung dan diteliti oleh para calon ilmuwan pesantren. Serta, semoga pemerintah terus memberikan beasiswa kepada para santri untuk memperdalam filologi. Jika di kampus besar banyak filolog namun mereka tidak punya naskah untuk diteliti, sebaliknya dengan pesantren yang memiliki banyak manuskrip namun tidak punya filolog.


* Mahasiswa Ma’had Aly Tebuireng Jombang dan peminat filologi.
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,39849-lang,id-c,kolom-t,Pesantren+Jangan+Buta+Filologi-.phpx

Ubudiyyah Makruh Berbusana Hitam ketika Melayat


Kamis, 20/09/2012 16:00


Tidak semua tradisi sejalan dengan tuntunan syariah. Hal ini bisa karena keberadaan tradisi yang mendahului syari’ah dan belum ada usaha pelurusan terhadapnya, seperti tradisi tumbal dan sesajen. Atau bisa juga tradisi tidak sejalan dengan syariah karena kehadirannya sebagai entitas baru hasil dari keterpengaruhan berbagai kebudayaan seperti halnya kebiasaan berbaju hitam ketika berta’ziyah.

Syariah Mana Lebih Afdhal, Haji Kesekian Kali atau Bersedekah?



Senin, 24/09/2012 19:00

Seperti kita ketahui bersama bahwa haji merupakan salah satu rukun Islam, sebagaimana sholat dan zakat. Setiap orang yang sudah muslim yang mampu wajib melaksanakannya. Perhatikan Ali Imrah ayat 97 “…mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah”. Haji sendiri fardhunya sekali dalam seumur hidup. Adapun haji selanjutnya sunnah hukumnya. Lantas lebih utama mana melaksanakan pengulangan dalam ibadah haji dengan amal atau shodaqah yang mempunyai fungsi sosial jauh lebih luas? semisal pembangunan madrasah, pembangunan jembatan atau mushalla.Memang banyak tipe manusia, bermacam rupa pola pikirnya. Ada yang telah mampu dan memenuhi syarat haji tetapi tidak juga melaksanakan kewajibannya. Ada yang –sebenarnya- belum memenuhi syarat dan belum mampu, tetapi memaksakan diri untuk melaksanakannya. Dan adalagi yang telah menunaikan haji tetapi merasa belum puas sehingga mengulang lagi melaksanakan haji untuk yang kedua kali atau yang kesekian kalinya.
Sedangkan orang yang berulang-ulang pergi haji juga bermacam-macam motifnya. Ada yang merasa haji pertamanya tidak sah sebab tidak memenuhi rukunnya, sehingga memerlukan pergi haji lagi guna mengqadhanya. Ada pula haji yang kedua untuk menghajikan kedua orang tuanya. Ada pula yang beralasan kurang puas dengan haji yang pertama. Jika alasannya ‘puas-tidak puas’ tentunya ini berhubungan dengan kemantapan di hati. Entah merasa kurang khusu’ atau memang merasa ketagihan dengan pengalaman bathin ketika haji pertama. Memang perlu dicatat banyak sekali haduts yang menerangkan keutamaan haji misalnya:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: العمرة كفارة لما بينهما والحج المبرور ليس له جزاء الا الجنة (متفق عليه)
Rasulullah saw bersabda: Umrah ke umrah itu menghapus dosa antar keduanya, dan haji yang mabrur tidak ada balasannya kecuali surge.(Muttafaq Alaih) dan masih banyak lagi hadits semacam ini.
Jika demikian, pertanyaa lebih afdhal mana menggunakan dana untuk mengulang haji dan amal yang bermanfaat umum? Jawabannya tergantung dari mana sudut pandangnya. Karena masing-masing memiliki dalil fadhilah, dan keduanya bisa dibenarkan. Namun hendaknya perlu dipertimbangkan satu kaedah fiqih yang berbunyi:
المتعدى أفضل من القاصر
Amal yang mberentek (manfaatnya meluas) lebih afdhal dari amal yang terbatas.
Artinya, amal yang jelas-jelas memiliki manfaat lebih luas lebih afdhal dari pada amal yang hanya memuaskan diri sendiri. Oleh karena itu Imam Syaf’ir pernah berujar “menuntut ilmu lebih utama dari pada sholat sunnah”. Dengan kata lain menuntut ilmu yang manfaatnya dapat dirasakan oleh orang banyak, lebih utama dari pada sholat sunnah yang pahalanya hanya dirasakan untuk individu.
Meski demikian, namanya juga manusia sering kali terkalahkan oleh ego pribadinya. apalagi jika ia memiliki legitimasi dalil keagamaan ataupun dalil social yang lain. Seolah apa yang ia lakukan adalah sebuah kebenaran. Oleh karena itu, jawaban dari pertanyaan ini adanya di dalam hati. Karena banyak sekali orang yang mementingkan diri sendiri. Yang penting dirinya masuk surga tak peduli saudara dan tetangga masuk neraka. Seperti halnya mereka yang tega kenyang sendiri sementara tetangga dan keluarga lain kelaparan.
sumber: Fiqih Keseharian Gus Mus
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,11-id,34574-lang,id-c,syariah-t,Mana+Lebih+Afdhal++Haji+Kesekian+Kali+atau+Bersedekah+-.phpx

Selasa, 25 September 2012

HAM Indonesia di Mata Dunia


PDFPrint
Wednesday, 26 September 2012
Indonesia kembali terpilih menjadi salah satu anggota Dewan Hak Asasi Manusia (Human Rights Council) di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kali ini untuk periode 2011-2014.

Artinya, sudah tiga kali berturut-turut Indonesia menjabat sebagai anggota Dewan HAM PBB.Lebih hebat lagi, Indonesia termasuk salah satu pendiri Dewan HAM tersebut. Dewan HAM adalah lembaga antarpemerintah di PBB yang bertanggung jawab memperkuat pemahaman dan perlindungan HAM di seluruh dunia, menanggapi situasisituasi pelanggaran HAM dan mengeluarkan rekomendasi solusi.

Dewan ini terdiri dari 47 negara anggota yang dipilih melalui mekanisme kesepakatan seluruh negara anggota Majelis Umum PBB. Dasar pembentukannya disahkan pada 15 Maret 2006 melalui Resolusi 60/251.Cara kerjanya dengan melakukan rangkaian diskusi kelompok (working groups) oleh perwakilan negara yang hasilnya dibawa ke negara masing-masing, dibahas ulang,dan dikembalikan lagi dalam pembahasan kelompok sebelum menghasilkan suatu laporan berkala yang dilengkapi rekomendasi.

Tahun ini laporan berkala dari Dewan HAM di bulan Mei 2012 secara khusus menyoroti praktik perlindungan HAM di Indonesia. Penilaiannya kurang menggembirakan. Disebutkan di sana, meski Indonesia punya komitmen dan instrumen-instrumen untuk mendorong dan melindungi HAM,mekanisme untuk pelaksanaannya tidak memadai.Kepolisian masih dituding melakukan pelanggaran HAM karena melakukan penyiksaan atau tindakan kekerasan yang berlebihan.

Aktivitas politik yang damai seperti demonstrasi, termasuk oleh pendukung HAM dan peliputan berita oleh jurnalis, justru mengalami kriminalisasi, intimidasi, serangan fisik.Di sisi lain,mereka juga mencatat bahwa masih ada hambatan pelaksanaan hak-hak seksual dan reproduktif bagi perempuan. Yang tentu saja menghebohkan adalah catatan mereka tentang lemahnya perlindungan terhadap kelompok minoritas keagamaan.

Mereka mencatat kejadian penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah, perusakan dan penutupan gereja secara paksa, bahkan penolakan Wali Kota Bogor untuk mematuhi keputusan Mahkamah Konstitusi agar membuka kembali Gereja Kristen Taman Yasmin. Saran mereka: Pemerintah Indonesia perlu melakukan amandemen atau mencabut aturan-aturan perundangundangan yang membatasi kebebasan beragama, termasuk UU Penodaan Agama 1965,Keputusan bersama dua menteri tentang pembangunan tempat ibadah tahun 2006 dan keputusan bersama menteri tentang Ahmadiyah 2008.

Jawabannya,tentu saja bisa dibayangkan, Indonesia menolak rekomendasi tersebut. Dasar penolakannya terutama karena soal kedaulatan.Selain itu, Indonesia merasa sudah menerjemahkan prinsip-prinsip HAM dalam aturan-aturan tersebut.Apalagi karena Mahkamah Konstitusi pernah mengeluarkan keputusan pada 2010 bahwa UU Penodaan Agama tidak melanggar konstitusi. Apa makna semua ini? Pertama, PBB memang merupakan lembaga internasional tempat negara-negara untuk saling mengingatkan satu sama lain.

Setelah rekomendasi dari Dewan HAM atau dewan-dewan anakan PBB yang lain, negara yang diberi catatan khusus wajib menjawab. Format penyampaiannya ditentukan. Selebihnya terserah negara tersebut. Idealnya ada kerja sama di antara negara tersebut dan Dewan di PBB untuk mengatur langkah memperbaiki situasi domestiknya; tetapi kalaupun negara tersebut memutuskan untuk menyelesaikan dengan caranya sendiri, maka PBB hanya bisa memantau dan melakukan protes lanjutan bila hasilnya dianggap belum sesuai atau memburuk.

Kedua, pembahasan soal HAM memang membuat pusing kepala banyak pihak. Tidak hanya Indonesia yang dibikin pusing, negara-negara lain pun demikian. Pasalnya, sejumlah prinsip HAM memang memerlukan turunan yang lebih konkret dalam wujud kebijakan, padahal pemaknaan filosofis dan manajemen dari suatu prinsip bisa berbeda-beda di tiap negara. Misalnya saja di Indonesia.

Ketika bicara soal penodaan agama atau pendirian tempat ibadah, masih lekat di benak rata-rata pengambil keputusan bahwa jika tidak hati-hati maka Indonesia akan chaos, akan kacau balau, kehilangan ketertiban umum. Ada asumsi bahwa masyarakat cenderung tidak bertanggung jawab sehingga harus dibendung dan dicegah sejak dini. Soal hak selalu dikaitkan dengan tanggung jawab.Entah mengapa justru rasa percaya akan kemampuan warga Indonesia menjaga toleransi tidak dipupuk, padahal kedewasaan dalam bernegara tidak muncul dalam semalam.

Justru biasanya karena proses belajar masyarakat akan menciptakan mekanisme damai yang langgeng. Sebagian kebiasaan ”atur mengatur” ini memang merupakan peninggalan Orde Baru. Padahal dalam prinsip penegakan HAM, belum tentu semakin banyak aturan justru semakin baik. Aturan yang mengekang kebebasan individu justru dianggap melanggar HAM. Jadi, usulan Presiden SBY agar PBB mengeluarkan protokol tentang anti-penistaan agama sebagai pegangan negara- negara dunia ketika mengatur tentang tindakan anti-penistaan agama adalah turunan penegakan HAM yang belum tentu dimaknai positif.

Bagi negara lain, hal ini belum tentu bisa diterima dengan baik. Agama tidak selalu dianggap merupakan wilayah hukum yang perlu diatur oleh negara. Bahkan di Eropa, misalnya, politisi yang mengangkat soal agama atau ketuhanan dalam politik justru akan kehilangan dukungan pemilih. Lagipula, apakah definisi dari agama itu sendiri? Apa bedanya dengan keyakinan (faith)? Biasanya interpretasi ajaran agama merupakan domain lembaga-lembaga agama dalam satu agama; bukannya domain negara.

Ketiga, Pemerintah Indonesia sudah memilih ”merek” tertentu dalam pergaulan internasional dan secara tidak langsung itu berarti mengikat diri untuk punya kredibilitas dalam janji-janji yang diusung dalam ”merk”tersebut.Istilahnya dalam dunia internasional: postur. Postur yang dipilih Indonesia adalah sebagai ”negara demokrasi terbesar nomor tiga di dunia”, ”negara dengan populasi penduduk muslim terbesar di dunia” dan ”penegak HAM”,serta ”jembatan dan pencari solusi”. Artinya bahwa praktik-praktik yang dilakukan di balik terali kedaulatan negara Indonesia pun (atau dilakukan di dalam negeri) harus rela dipantau oleh negara-negara lain.

Mereka punya rasa ingin tahu yang besar dan itu hak mereka untuk menilai kita.Jadi,ketika ada warga Indonesia mengeluh tentang praktik perlindungan HAM di dalam negeri, suaranya pasti terdengar juga di luar sana. Problemnya, di Indonesia saat ini hampir semua harus dipolitisasi.Akibatnya terjadi ketidakpastian yang berkepanjangan dalam penyelesaian hal-hal yang sebenarnya bisa dibuat lebih sederhana dengan aturan dan mekanisme hukum yang jelas. Komnas HAM, misalnya, atau komisikomisi lain penegak HAM, belum bisa sepenuhnya beroperasi karena wibawa politiknya lemah.

Mereka masih bergantung pada dukungan segelintir elite politik.Aturanaturan birokrasi yang ada pun tak disadari telah mengurangi kemampuan Komnas untuk bergerak lebih lincah dan percaya diri. Rekomendasi mereka juga kerap dianggap angin lalu belaka. Lambat laun Indonesia memang harus lebih sigap berbenah diri di dalam negeri. Penyelesaian kasus-kasus HAM dan pelanggaran hak kelompok- kelompok minoritas atau yang selama ini termarginalkan adalah suatu kewajiban. Tak mungkin kita pasang merek penegak HAM kalau di dalam negeri sendiri mentalitasnya belum sejalan dengan logika penegakan prinsip- prinsip HAM. 

DINNA WISNU Ph.
DCo-Founder & 
Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, 
Universitas Paramadina; @dinnawisnu

Pertumbuhan Orang Superkaya RI Tertinggi di Asia


PDFPrint
Wednesday, 26 September 2012
ZURICH — Indonesia, China, dan India menjadi tiga negara kunci yang memiliki andil besar dalam perkembangan orang superkaya di Asia.Laju peningkatan jumlah orang superkaya di Indonesia bahkan menjadi yang tertinggi di kawasan ini.

Dalam survei tahunan High Net Worth Individuals (HNWIs/Orang Kaya) yang dilakukan bank swasta asal Swiss, Julius Baer, disebutkan, pada 2015,Asia akan dihuni 2,67 juta orang superkaya dengan kekayaan total USD16,7 triliun, setara dengan Rp159.819 triliun (lihat infografis). Rata-rata pertumbuhan tahunan orang kaya Indonesia yang mencapai 25% diperkirakan menjadi yang tertinggi di seluruh Asia.Pendorong utama kenaikan orang kaya di Indonesia adalah lingkungan bisnis domestik yang terus berkembang.

Di China, pertumbuhan orang kaya didukung oleh penyeimbangan ulang aktivitas ekonomi. Di India, pertumbuhan orang kaya didorong perpindahan pekerjaan dari pertanian dan perbaikan infrastruktur. Survei, yang diumumkan dalam Wealth Report 2012 dengan fokus Asia itu mengindikasikan, orang-orang kaya di kawasan ini kebal terhadap gelombang perlambatan pertumbuhan ekonomi global yang terjadi saat ini. ”Itu karena perekonomian Asia yang terus tumbuh berkat permintaan domestik yang didukung pertumbuhan lapangan kerja yang pesat,” papar Julius Baer dalam pernyataan yang dikutip AFPkemarin.

Bank itu juga menyebutkan, perkiraan orang kaya untuk 2015 itu mempresentasikan kenaikan 30% dari perkiraan yang pernah dikeluarkan pada 2010. ”Perkiraan awal telah dikaji ulang. Laporan menyimpulkan bahwa risiko penurunan terhadap pertumbuhan orang kaya di Asia itu kecil,”ujar bank tersebut di situs mereka. Laporan itu meneliti pendorong munculnya orang superkaya di 10 negara dengan perekonomian paling signifikan di Asia.

Bank itu menemukan bahwa China, India dan Indonesia, menjadi negara- negara yang mampu menciptakan orang kaya. ”Laporan kekayaan Julius Baer adalah pandangan unik mengenai kekayaan, dari perbincangan kami dengan mereka yang berada di barisan depan pertumbuhan orang kaya di negara mereka,”papar CEO Julius Baur, Boris Collardi,mengenai latar belakang laporan itu. Survei ini mengamati berbagai dimensi pandangan atas kekayaan dan juga melihat seberapa besar biaya hidup mewah.

Laporan itu menyebutkan, biaya hidup mewah di Hong Kong, Shanghai, Singapura, dan Mumbai menunjukkan kenaikan harga hingga 8,8% sejak laporan terakhir. ”Ini menunjukkan bahwa jelas sekali biaya hidup mewah di Asia terus melampaui ukuran konvensional Indeks Harga Konsumen (CPI) yang terus bertahan pada rata-rata 6% untuk periode waktu yang sama,”papar laporan itu. Ekonom Unika Atma Jaya, A Prasetyantoko menilai pesatnya pertumbuhan orang kaya di Indonesia sebagai sesuatu yang wajar.

Selain karena faktor pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berada di atas 6%, para pengusaha yang bergerak di bidang sumber daya alam juga banyak diuntungkan. Bidang ini diyakini mampu memberikan keuntungan berlipat-lipat. ”Saya kira para pengusaha sektor komoditas pertambangan yang paling banyak mendapatkan untung,”katanya,kemarin. Menurut Prasetyantoko,komoditas pertambangan selalu melahirkan orang kaya baru lantaran produknya masih bisa ditahan ketika terjadi gejolak harga.

”Misalnya kalau harga batu bara naik, masih bisa ditahan hingga beberapa waktu. Yang diperlukan hanya mekanisme internalisasi perusahaan. Berbeda dengan komoditas lain, misalnya komoditas pangan, itu memiliki masa waktu yang terbatas untuk disimpan,” ucapnya. Prasetyantoko menambahkan, jumlah orang kaya baru di Asia, bisa bertambah jika pertumbuhan ekonomi tetap stabil berada di atas 6%. ”Kalau stabilitas makro terjaga. Saya kira Indonesia masih tetap tertinggi di Asia melahirkan orang kaya baru.

Apalagi kalau melihat proyeksi pertumbuhan ekonomi kita yang dicanangkan pemerintah minimal 6,8% di 2013,”ungkapnya. Pakar pemasaran Yuswohady menilai orang superkaya di Indonesia awalnya memiliki basic sebagai pengusaha menengah. Pascareformasi, mereka menunjukkan kepiawaian dalam mengembangkan bisnis. ”Kita lihat tingginya permintaan konsumsi dalam negeri kita. Belum lagi permintaan terhadap komoditas sumber daya alam kita yang besar,”paparnya. alvin/ chindya citra/ichsan amin

Minggu, 23 September 2012

Kurikulum, Mendikbud Minta Masukan Kyai



Penulis : Indra Akuntono | Sabtu, 22 September 2012 | 18:58 WIB

REMBANG, KOMPAS.com - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Mohammad Nuh mengunjungi Pondok Pesantren Raudhatut Tholibin, Rembang, Jawa Tengah, Sabtu (22/9/2012) sore.
Ada maksud khusus di balik kedatangan Mendikbud ke pondok pesantren (ponpes) tersebut. Selain untuk bersilaturahim, Nuh sengaja meminta masukan pengasuh ponpes tersebut, yakni KH Mustofa Bisri alias Gus Mus terkait rencana pemerintah mengevaluasi dan membuat kurikulum pendidikan nasional yang baru.
"Ya silaturahmi saja, sekaligus diskusi soal pendidikan, soal kurikulum keagamaan terkait kurikulum pendidikan yang baru nanti," kata Nuh saat ditemui di lokasi.
Nuh menyampaikan, ponpes memiliki pengalaman yang sangat luar biasa terkait pendekatan kurikulum yang digunakan. Menurutnya, sudah sewajarnya jika ia melakukan diskusi dan meminta masukan dari alim ulama di lingkungan pesantren.
"Soal kurikulum, pesantren memiliki pengalaman yang luar biasa dalam menanamkan nilai dan membentuk karakter santrinya," ungkap mantan Rektor ITS itu.
Sementara itu, Gus Mus mengeluarkan pandangan yang sedikit menyindir kurikulum pendidikan nasional. Menurutnya, kurikulum pendidikan saat ini lebih terfokus pada penajaman kemampuan kognitif dan cenderung meremehkan nilai dasar dari ilmu itu sendiri, yakni perilaku dan karakter.
"Mata pelajaran kognitif dinilai sampai detail, sedangkan untuk perilaku nilainya hanya menggunakan huruf, sekelas bisa punya nilai sama," tandasnya.
Untuk diketahui, pemerintah tengah serius mematangkan kurikulum pendidikan nasional yang baru. Rencananya, kurikulum itu akan mulai digunakan mulai tahun ajaran 2013-2014.
Dalam proses pematangannya, Kemendikbud mengadopsi kurikulum dari negara-negara OECD yang dianggap sesuai untuk digunakan di Indonesia. Selain itu, negara-negara yang memiliki karakter kebangsaan kuat juga akan ditiru sebagian kurikulumnya.
http://edukasi.kompas.com/read/2012/09/22/18583396/Garap.Kurikulum.Mendikbud.Minta.Masukan.Kyai

Menyejahterakan Petani ala Dahlan Iskan


Penulis : Kontributor Yogyakarta, Gandang Sajarwo | Sabtu, 22 September 2012 | 21:03 WIB

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Negara BUMN Dahlan Iskan berpendapat, untuk meningkatkan kesejahteraan petani pemerintah harus berani membeli hasil pertanian dengan harga tinggi, bukan memberi subsidi kepada para petani.
"Beli padi dengan harga tinggi, jangan hanya memberi subsidi. Subsidi bisa dibicarakan lagi," kata Dahlan Iskan pada acara "Farmers Go to Campus: Menggagas Strategi Kebijakan Pangan Menuju Kesejahteraan Petani" di Auditorium Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sabtu (22/9/2012).
Dahlan mengkui, gagasan yang dilontarkannya ini belum sepenuhnya diterima banyak pihak. Masih ada pro dan kontra. Ia berjanji akan terus berusaha meyakinkan pihak-pihak yang belum mau menerima gagasan tersebut. Jika gagasan ini diterima dan menjadi kebijakan pemerintah dia yakin tidak akan ada demonstrasi yang menolaknya.
"Saya berharap gagasan ini didukung oleh petani dan bukan hanya elit-elit petani atau elit akademisi," ujarnya.
Pada acara yang dihadiri sekitar dua ratus petani se-Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tersebut, Dahlan menegaskan, kementrian BUMN yang dipimpinanya akan bekerjasama dengan Menteri Pertanian supaya pertanian dan pangan di Indonesia menjadi lebih kuat.
Ia memberikan contoh terkait produksi pupuk organik. Nantinya, pabrik milik BUMN tidak perlu lagi memproduksi pupuk organik. Pupuk organik akan diproduksi oleh petani dan kelompoknya lalu disalurkan melalui BUMN.
"BUMN hanya pengepul saja dari petani tanpa ambil untung sebelum akhirnya pupuk disalurkan ke masyarakat. Yang penting nanti jelas soal standarisasi jenis pupuk maupun kualitasnya," tegas Dahlan.
Sementara itu, Kepala Bulog DIY, Darsono Imam Yuwono mengatakan, siap bekerjasama dengan petani. Darsono juga menepis anggapan bahwa petani selalu kesulitan untuk mengakses gudang Bulog.
Saat ini, kata Darsono, pihaknya telah menggandeng berbagai mitra petani sehingga mereka tidak lagi kesulitan ketika ingin menyalurkan hasil pertanian, khususnya beras ke gudang Bulog.
"Sudah ada satgas sehingga siapapun bisa menyalurkannya ke gudang Bulog," kata Darsono.
Pada acara tersebut Dahlan juga berdialog serta mendengarkan beberapa persoalan yang dihadapi petani di DIY seperti persoalan irigasi, pupuk, luas lahan, teknologi maupun permodalan. Di akhir acara juga diberikan beberapa jenis penghargaan kepada petani berprestasi serta peluncuran buku berjudul "Surat Petani untuk Dahlan Iskan".
Editor :
Heru Margianto
http://nasional.kompas.com/read/2012/09/22/21034287/Menyejahterakan.Petani.ala.Dahlan.Iskan