Berbagi Pengetahuan

Blog ini dibuat sebagai kliping media.

Semoga bermanfaat

Rabu, 29 Januari 2014

Pemiskinan Koruptor Jangan Sampai Salah Arah

Senin, 16 April 2012 | 16:11 WIB JAKARTA, KOMPAS.com - Praktisi Hukum Senior, Adnan Buyung Nasution menyatakan setuju wacana pemiskinan koruptor. Namun, harus sesuai dengan konteks hukum keadilan, yaitu harta yang diambil adalah yang menjadi hasil korupsinya. "Tidak ada dalam regulasi perundang-undangan yang mengatakan pemiskinan. Saya akan menentang hal itu, karena memiskinkan orang tanpa kesalahan tidak benar. Kalau dibiarkan celaka dong negara kita. Harus sesuai konteks," kata Buyung dalam seminar Efektivitas Penggunaan UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Upaya Pemiskinan Koruptor di Gedung PPATK, Jakarta Pusat, Senin (16/4/2012). Jika pemiskinan tanpa konteks keadilan dilakukan, menurut Adnan, negara berpotensi sewenang-wenang dalam menggunakan kekuasaan. "Siapa yang dibenci maka dapat dimiskinkan. Itu juga tidak benar," lanjutnya. Menurut Buyung, apabila seorang koruptor juga diduga mengalirkan dana ke orang-orang terdekatnya atau keluarga, maka, harus dibuktikan terlebih dahulu apa benar asetnya itu didapat dari hasil korupsi. Pemiskinan dan perampasan ini harus dilakukan secara rasional dengan mengedepankan sebab-akibat. "Saya hanya khawatir kita terjebak dalam nafsu yang sewenang-wenang sehingga asal memiskinkan orang," kata Adnan Buyung Nasution. http://nasional.kompas.com/read/2012/04/16/16112190/Pemiskinan.Koruptor.Jangan.Sampai.Salah.Arah

Pemiskinan Koruptor Bisa Jadi Terobosan

Senin, 16 April 2012 | 11:28 WIB JAKARTA, KOMPAS.com- Perlu terobosan baru dan tindakan konkret untuk membuat jera koruptor, di saat pidana penjara sudah dirasakan tidak efektif. Terobosan baru juga diharapkan dapat memberikan keadilan dan perlindungan bagi kepentingan masyarakat luas. "Salah satu terobosan yang mungkin dilaksanakan dalam memberantas korupsi di Indonesia adalah pemiskinan koruptor," kata Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Muhammad Yusuf di Jakarta, Senin (16/4/2012). Menurut Yusuf, dalam pidatonya saat membuka seminar bertema pemiskinan koruptor di kantor PPATK, Jakarta, hukuman bagi koruptor tidak bisa lagi hanya dengan pidana penjara ditambah denda. Apalagi, jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah uang yang dikorupsi. "Harus diikuti dengan perampasan atau penyitaan seluruh harta kekayaan yang diperoleh dari korupsi dengan tujuan untuk memiskinkan koruptor," tambah Yusuf. Cara pemiskinan koruptor ini akan efektif untuk membasmi korupsi di Indonesia. Atau, setidaknya orang akan berpikir ulang untuk korupsi, karena saat dihukum dapat jatuh miskin, dibandingkan sebelum korupsi. http://nasional.kompas.com/read/2012/04/16/11284798/Pemiskinan.Koruptor.Bisa.Jadi.Terobosan.

Perampasan Aset Bisa Memiskinkan Koruptor

Rabu, 4 September 2013 | 13:59 WIB JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Komisi III DPR Gede Pasek Suardika mengatakan, vonis 10 tahun penjara yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terhadap Irjen Djoko Susilo dalam kasus korupsi dan pencucian uang proyek simulator ujian surat izin mengemudi (SIM) harus dihargai. Menurutnya, vonis tersebut menjadi bukti konkret untuk merealisasikan wacana pemiskinan para koruptor. Pasek menilai, vonis itu dapat menjadi acuan dalam penuntasan kasus korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) di kemudian hari. "Jadi fenomena baru dan itu arahnya ke sana (memiskinkan koruptor), jadi bisa digunakan ke kasus berikutnya dan hakim harus di-support, jangan dihakimi hakimnya," kata Pasek, di Kompleks Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu (4/9/2013). Sementara itu, Anggota Komisi III DPR Syarifudin Sudding berpendapat, vonis terhadap Djoko telah sesuai dengan filosofi UU TPPU yang meski tak menyatakan secara jelas, tetapi memiliki semangat untuk memberikan efek jera dengan cara memiskinkan koruptor. "Saya kira arahnya ke situ. Pelaku korupsi diberikan efek jera, dirampas asetnya untuk dikembalikan ke negara," katanya. Seperti diberitakan, selain hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta, hakim juga memerintahkan untuk menyita aset-aset Djoko Susilo. Sebanyak 48 aset mantan Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian RI Inspektur Jenderal Djoko Susilo dirampas negara. Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan, aset Djoko Susilo yang disita nilainya mencapai Rp 200 miliar. Bambang menambahkan, total harta tersebut sudah dipotong dengan tiga aset yang dikembalikan karena tidak terbukti sebagai aset hasil dari tindak pidana korupsi yang dilakukan Djoko. "Kalau total buku Rp 120-an miliar. Kan ada yang Rp 80-an miliar dan Rp 90-an miliar di rumusan dakwaan awal, tapi ketika tuntutan, ditambah lagi jadi Rp 120-an miliar. Dan itu diterima oleh hakim," kata Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto di Gedung KPK Jakarta, Selasa (3/9/2013). Menurut Bambang, total harta Rp 120 miliar tersebut adalah nilai buku. Jika melihat nilai pasar, diperkirakan jumlahnya bisa mencapai lebih dari Rp 200 miliar. http://nasional.kompas.com/read/2013/09/04/1359306/Perampasan.Aset.Bisa.Memiskinkan.Koruptor

Muladi: Memiskinkan Koruptor, Bisa "Diketawain" Dunia

Rabu, 29 Januari 2014 | 12:08 WIB BATAM, KOMPAS.com — Ketua Tim Penyusun Rancangan UU KUHP Muladi menolak usulan untuk "memiskinkan" pelaku korupsi dengan merampas seluruh harta yang dimiliki sebagai efek jera koruptor. Menurut Muladi, memiskinkan koruptor tidak proporsional dan terlalu berlebihan. "Memiskinkan orang itu terlalu dramatis, harusnya proporsional saja," kata Muladi dalam Diskusi Panel Menyorot RUU KUHP Universitas Riau Kepulauan Batam dan Forum Pimpinan Pendidikan Tinggi Hukum Indonesia di Batam, seperti dikutip Antara, Rabu (29/1/2014). Ia mengatakan, sanksi yang diberikan harus proporsional. Jika tindak korupsi merugikan negara, maka dananya dikembalikan ke negara. "Kalau memiskinkan, kita bisa diketawain dunia," kata Muladi. Muladi mengaku heran dengan banyaknya sarjana hukum yang sepakat dengan ide pemiskinan yang disampaikan Adnan Buyung Nasution. Dari segi hukum, kata dia, istilah "pemiskinan" harus dihindari. Mantan Gubernur Lemhanas itu juga menolak penerapan hukuman mati di Indonesia karena melanggar hak asasi manusia. "Yang dihukum itu kan manusia," kata dia. Sebelumnya, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan mengatakan, pemiskinan atau pengambilan aset dan harta hasil korupsi lebih efektif dan dapat memberi efek jera bagi para koruptor dibandingkan dengan hukuman penjara. "Para koruptor itu kan lebih takut miskin daripada takut dipenjara. Jadi, satu-satunya cara yang ampuh untuk membuat orang jera melakukan korupsi adalah dengan memiskinkan koruptor," kata Ade. Menurut Ade, sebenarnya sudah ada beberapa peraturan yang dapat digunakan untuk mengatur upaya pemiskinan koruptor, yaitu Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). "Sekarang ini sedang dikembangkan RUU tentang perampasan harta hasil korupsi dari koruptor dan keluarganya," ujarnya. Ia mengatakan, pengambilan aset atau harta kekayaan koruptor sebetulnya dapat dilakukan dengan mudah bila aparat sudah membuktikan bahwa aset itu merupakan hasil tindak pidana korupsi. "Jadi, bila aparat penegak hukum sudah bisa membuktikan dan menunjukkan bahwa harta yang diperoleh merupakan hasil korupsi, maka aset si koruptor itu sudah pasti bisa disita oleh negara," katanya. http://nasional.kompas.com/read/2014/01/29/1208441/Muladi.Memiskinkan.Koruptor.Bisa.Diketawain.Dunia

Jumat, 24 Januari 2014

Threshold dan pemilu serentak

Koran SINDO Sabtu, 25 Januari 2014 − 08:51 WIB PENANTIAN yang lama itu akhirnya selesai. Kamis, 23 Januari 2014, Mahkamah Konstitusi (MK) mengucapkan vonis atas uji materi Undang-Undang (UU) Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) terhadap UUD 1945. MK mengabulkan permohonan Effendi Gazali dan Aliansi Masyarakat Sipil itu degan vonis, pemilu serentak antara pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden/wakil presiden (pilpres) adalah pemilu yang konstitusional, tetapi baru dilaksanakan mulai Pemilu 2019. Secara substantif, menurut saya, permohonan Yusril Ihza Mahendra (YIM) tentang peniadaan threshold dalam pilpres sudah dijawab oleh MK. Dengan pemilu serentak, sesuai dengan UUD 1945, yang mengajukan pasangan calon presiden/wapres adalah parpol atau gabungan parpol peserta pemilu. Karena pemilunya serentak, setiap parpol peserta pemilu dapat mengajukan pasangan calon presiden/wapres tanpa syarat punya sejumlah kursi tertentu di DPR. Tapi bisa saja lembaga legislatif nanti mencari akal lain untuk tetap menggunakan threshold. Tentang threshold itu, menurut YIM, Pasal 6A UUD 1945 tidak menentukan adanya threshold dalam pilpres. Yang ada hanya ketentuan, ”pasangan capres/ cawapres diajukan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu”. Jika sebuah parpol secara hukum menjadi peserta pemilu berarti berhak mengajukan pasangan capres/cawapres, tanpa syarat threshold. Di dalam risalah perdebatan tentang perumusan Pasal 6A itu di MPR memang ada kecenderungan kuat, pileg dan pilpres diselenggarakan serentak, tetapi perumusan akhirnya MPR mendelegasikan kepada lembaga legislatif untuk mengaturnya di dalam undang-undang. Banyak yang bertanya kepada saya, apakah dalil-dalil yang dikemukakan YIM itu benar dan apakah mungkin pileg dan pilpres dilaksanakan serentak. Itu sepenuhnya adalah wewenang majelis hakim MK yang, demi etika, tak boleh saya jawab sebelum vonis diucapkan karena saya termasuk hakim yang ikut membuat vonis itu. Sekarang saya sudah bisa menjawab melalui cerita masa lalu terkait masalah tersebut saat saya menjadi ketua MK. Permintaan yang substansinya sama dengan yang diajukan oleh YIM, menyoal adanya threshold dalam pilpres, sudah berkali-kali disidangkan di MK. Pada tahun 2008, aktivis Fadjroel Rachman mengajukan perkara ke MK yang meminta dibukanya pengajuan calon perseorangan atau calon independen dengan, tentunya, tidak perlu ada threshold berdasar hasil pileg. Setelah perkara Fadjroel ditolak masih ada pemohon-pemohon lain yang menyusul ke MK, termasuk permohonan agar capres/cawapres diajukan oleh ormas-ormas, organisasi profesi, dan masyarakat adat. Semua permohonan itu ditolak atau tidak diterima oleh MK. Terakhir, sebelum saya meninggalkan MK, masih ada lagi perkara yang substansinya sama yang diajukan oleh Effendi Gazali bersama Aliansi Masyarakat Sipil. Atas perkara Effendi Gazali ini, hakim-hakim MK bersepakat untuk cepat memutus karena dua hal. Pertama, permohonan Effendi ini menggunakan alasan dan formulasi petitum yang berbeda dengan permohonan- permohonan sebelumnya sebab Effendi dkk meminta pileg dan pilpres serentak. Kedua, permohonan ini harus segera diputus agar segera ada kepastian bagi semua stakeholders. Permohonan-permohonan yang diajukan sebelum Effendi Gazali dan YIM tidak dikabulkan oleh MK karena alasan konstitusi. Alasan utamanya, MK tidak boleh membatalkan isi UU yang tidak disukai banyak orang atau, bahkan mungkin, tidak disukai oleh hakimhakim MK sendiri kalau isi UU itu tidak bertentangan dengan konstitusi. Memang banyak isi UU yang tak disukai banyak orang tetapi tak bertentangan dengan konstitusi karena merupakan opened legal policy (pilihan politik hukum yang terbuka), yakni pengaturan yang isinya ditentukan sebagai pilihan bebas politik hukum oleh lembaga legislatif. Contohnya, pilkada langsung atau melalui DPRD adalah sama konstitusionalnya asal ditentukan oleh lembaga legislatif di dalam UU. MK tak boleh membatalkan pilihan politik hukum terbuka oleh lembaga legislatif itu. Kalau lembaga legislatif menetapkan jumlah anggota DPR sebanyak 560 orang atau sebanyak 500 orang adalah sama sahnya karena pilihan yang manapun tak ada yang bertentangan dengan konstitusi. MK berpendirian, threshold pileg dan pilpres merupakan pilihan politik hukum terbuka sesuai dengan delegasi pengaturan yang ditentukan oleh UUD 1945. Dalam perkara-perkara terdahulu ketentuan pengajuan capres/cawapres harus menggunakan threshold atau tidak, serta perlu serentak atau terpisahnya pileg dengan pilpres menurut MK merupakan opened legal policy, terserah pada pilihan hukum lembaga legislatif yang tidak bisa dibatalkan oleh MK. Sebab meskipun perdebatan di MPR saat merumuskan UUD dulu tak ada ketentuan pasti tentang threshold dan meskipun pernah ada kecenderungan agar pileg dan pilpres dilakukan serentak, tetapi tak ada keputusan final di MPR tentang itu. Perdebatannya memang seperti itu, tetapi rumusan yang kemudian disepakati secara resmi adalah mendelegasikan kepada lembaga legislatif untuk mengaturnya di dalam undang-undang. Itulah pendirian MK pada perkara-perkara terdahulu terkait threshold. Pendirian ini berubah dengan putusan atas perkara yang diajukan Effendi Gazali kemarin. Berdasarkan undang-undang perubahan, pendirian MK memang bisa diambil jika ada dalil-dalil dan fakta baru yang diajukan oleh pemohon baru meski objeknya sama. Dalam hal ini, permohonan Effendi Gazali dkk berhasil mengubah pendirian MK. MOH MAHFUD MD Guru Besar Hukum Konstitusi http://nasional.sindonews.com/read/2014/01/25/18/829901/threshold-dan-pemilu-serentak

Kamis, 02 Januari 2014

Modernisasi dan Kapitalisasi Desa, Siap Enggak?

Ardi WinangunSenin, 30 Desember 2013 10:05 wib Setelah melalui proses perjuangan yang panjang dari para anggota DPR serta ditambah dengan desakan dari para kepala desa, akhirnya para wakil rakyat lewat sidang paripurna pada 18 Desember 2013 mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tentang Desa menjadi Undang-Undang Tentang Desa. Pengesahan rancangan itu tentu menjadi sebuah kebanggaan bagi DPR, selain mengabulkan tuntutan para kepala desa juga di akhir tahun ini anggota DPR mampu menyelesaikan salah satu tugasnya yakni legislasi. Dengan disahkan undang-undang itu maka beban rancangan undang-undang yang harus diselesaikan menjadi berkurang. Banyak aturan dalam undang-undang itu mengatur soal desa yang sebelumnya tidak ada. Inti undang-undang itu adalah modernisasi di desa. Modernisasi seperti ada gaji, tunjangan kesehatan, dan tunjangan lainnya yang diberikan kepada kepala desa. Selama ini kepala desa mengandalkan upah bulanan dari bengkok sawah atau penghasilan halal desa lainnya. Selain itu dengan adanya undang-undang ini pemerintah pusat harus menggelontor uang hingga Rp1 miliar selama setahun untuk kepentingan pembangunan desa. Dalam undang-undang itu juga mengamanatkan pengelolaan badan usaha milik desa (BMUD). Badan yang demikian dulu hanya sampai pada tinggkat kabupaten/kota maka sekarang bisa didirikan di desa. Dengan demikian, bila undang-undang itu dijalankan maka akan terjadi perkembangan yang cepat dan melesat di desa. Kapitalisasi akan muncul dari desa. Selama ini pembangunan hanya berada di tangan presiden, gubernur, bupati, dan wali kota. Bila mereka peka dengan masalah yang terjadi di masyarakat (baca desa) maka problem di desa bisa segera diatasi. Masalahnya banyak bupati kurang peka dengan masalah di bawah sehingga anggaran daerah yang ada tidak merembes ke desa. Akibatnya, pembangunan desa selama ini tertinggal. Hal demikian membuat terjadi kemiskinan dan kesenjangan sosial dan berdampak banyak penduduk desa merantau ke kota atau keluar negeri. Urbanisasi yang terjadi ini akhirnya membuat pemerintah tambah pusingnya. Dengan undang-undang itulah diharapkan hal demikian bisa diatasi. Menjadi persoalan ketika modernisasi dan kapitalisasi desa dilaksanakan sudah siapkah masyarakat desa dengan aturan baru itu? Harus kita akui untuk menjalankan modernisasi dan kapitalisasi desa diperlukan keahlian dan ketrampilan dari kepala desa dan perangkat desa lainnya. Keahlian itu berupa bagaimana mereka bisa merancang pembangunan, mengelola transaksi keuangan, dan mengurus badan usaha milik desa. Dalam merancang pembangunan desa tentu harus dilakukan dengan cermat dan tidak bisa secara gegabah. Bila dilakukan secara gegabah maka arah yang dituju bisa membelok ke arah yang lain. Sehingga tujuan pembangunan masyarakat desa yang toto tentrem kertho rahardjo, murah tanpa tinuku, lan tukul tanpo tinandur tak akan tercapai. Untuk bisa merancang pembangunan desa diperlukan seorang kepala dan perangkat desa lainnya yang bisa menyerap aspirasi kebutuhan masyarakat dan memprediksi masa depan desa. Namun seperti dalam pemilihan kepala daerah, kepala desa dipilih biasanya berdasarkan popularitas, banyak uang, dan sebatas tokoh. Sedang kemampuan mungkin hanya menjadi nomer dua. Dari sinilah maka problem di kabupaten bisa terjadi di desa di mana pembangunan tidak merata atau pembangunan hanya untuk kelompok tertentu. Bila selama ini antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sering lempar tanggung jawab soal pembangunan yang tak terurus, misalnya jalan rusak, gedung sekolah roboh, jembatan ambruk, maka rantai lempar tanggung jawab nanti akan bertambah panjang hingga ke kepala desa. Bila demikian maka dari adanya undang-undang itu yang diharapkan pembangunan menjadi lebih merata yang terjadi malah keruwetan dalam soal siapa yang berhak bertanggungjawab dalam pembangunan. Misalnya, bila di desa daerah perbatasan dengan negara lain, siapa yang akan bertanggungjawab? Apakah kepala desa, bupati, gubernur, atau presiden? Pastinya bila ada masalah di batas negeri itu maka masing-masing akan berkilah. Pemerintah pusat akan mengatakan, “Kan sudah diberi anggaran.” Pemerintah di bawah pun akan membalas dengan berujar, “Itu kan urusan pusat.” Tak hanya masalah sumber daya atau keahlian yang sepertinya belum siap, masalah gelontoran uang yang melimpah di desa pun juga akan mengundang banyak orang untuk melakukan tindak korupsi. Selama ini mungkin kepala desa tidak mempunyai uang untuk melaksanakan pembangunan desa. Begitu ada segebok uang dari APBN dan APBD di depan mata, mereka bisa melakukan keinginan untuk mengubah wajah lingkungannya namun kepala desa juga manusia sehingga dirinya juga bisa melakukan tindakan melanggar hukum. Tindakan melanggar hukum itu dilakukan bisa jadi untuk memperkaya diri atau untuk mengembalikan modal dalam pemilihan kepada desa (Pilkades). Perlu kita ketahui bahwa Pilkades juga memerlukan modal seperti Pileg, Pilkada, dan Pilpres. Nilai untuk memenangkan Pilkada jangan dibilang murah. Anggaran kepala desa bisa hingga Rp1 miliar. Bila biaya yang dikeluarkan sudah demikian banyaknya maka dari sinilah pintu bagi kepala desa terpilih untuk melakukan tindak korupsi. Kita tidak berpikir jelek kepada kepala desa namun belajar dari pengalaman beragam pemilu mulai dari wakil rakyat, kepala daerah, dan presiden semua membutuhkan uang. Dan begitu ada anggaran pemerintah yang dikelola oleh mereka maka tindak pelanggaran hukum kerap terjadi. Bila banyak wakil rakyat dan kepala daerah kecokok KPK atau Kejaksaan Negeri dan Tinggi maka kepala desa sepertinya akan mengalami hal yang sama jika mereka melakukan korupsi. Kesimpulannya, kita harus menyambut baik dengan hadirnya Undang-Undang Tentang Desa. Namun sambil menunggu pemberlakukan undang-undang itu pada tahun anggaran 2015 maka pemerintah harus mempersiapkan sumber daya dan mental orang-orang desa agar mereka tidak mengulang ‘kesalahan’ pemerintah kabupaten, kota, provinsi, dan pusat dalam mengelola uang. Ardi Winangun Penggiat Komunitas Penulis Lapak Isu - See more at: http://suar.okezone.com/read/2013/12/30/58/919045/modernisasi-dan-kapitalisasi-desa-siap-enggak#sthash.3nycXpAC.dpuf

Arogansi Pejabat

M Budi Santosa - OkezoneSenin, 23 Desember 2013 11:07 wib SATU lagi bukti arogansi pejabat di negeri ini. Kali ini diperankan oleh Bupati Ngada, Nusa Tenggara Timur (NTT), Marianus Sae memerintahkan Satpol PP untuk menutup Bandara Turelelo Soa karena tidak mendapatkan tiket pesawat. Kejadian ini terjadi pada Sabtu (21/12/2013). Kejadian arogansi pejabat yang mirip diperankan oleh mantan anggota DPR RI yang kemudian menjadi wakil ketua ombudsman Azlaini Agus, menampar petugas Gapura Angkas, hanya karena pesawatnya delay. Kemudian Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Bangka Belitung Zakaria Umar Hadi juga pernah melakukan aksi kekerasan berupa penamparan. Bukan pakai tangan, tapi pakai koran. Dia menampar pramugari Sriwijaya Air Bangka Belitung-Jakarta, Nur Febriani. Itu adalah beberapa contoh dari perilaku pejabat yang terkesan arogan dan tidak memikirkan kepentingan orang lain. Hanya karena kepentingan dia terganggu sedikit saja, amarahnya sudah membabi buta. Inilah cerminan perilaku pejabat seakan bangsa ini masih di era feodalisme, di mana pejabat atau jika dulu raja, ingin selalu disembah oleh rakyatnya dan selalu didahulukan kepentingan-kepentingannya. Zaman telah berubah. Feodalisme tidak berlaku lagi di negeri Indonesia yang mau tidak mau mengikuti ideologi demokrasi. Bahkan feodalisme yang dulu tumbuh subur di keraton, kini pun sudah semakin demokratis. Contoh konkret-nya adalah keraton Yogyakarta yang jauh lebih demokratis dibandingkan dengan daerah lainnya. Tapi sayang, tatkala keraton makin demokratis, justru perilaku sejumlah pejabat di negeri ini masih saja sangat feodal. Kasus ternyar yang melibatkan Bupati Ngada pantas untuk dijadikan refleksi. Apalagi seorang bupati terpilih karena dukungan dari rakyat. Jangan sampai mengkhianati rakyat dan berbuat semena-mena. Jika perilaku seperti ini terus dibiarkan, maka negeri ini akan semakin amburadul akibat kesewenang-wenangan pejabat negara. Pejabat-pejabat yang arogan seperti ini pantas untuk dilupakan pada pemilihan berikutnya. Bahkan sanksi sosial pun bisa diberikan pada partai pengusungnya, karena partai juga mesti bertanggung jawab atas perilaku pejabat yang dulu mereka dukung dalam pemilukada. Jika Bupati Ngada adalah kader Partai Amanat Nasional (PAN), maka sudah semestinya PAN memberikan teguran keras kepada yang bersangkutan. Tidak bisa lagi tindakan seperti ini dibiarkan. Selain itu, Kementerian Perhubungan, dan instansi lain yang merasa dirugikan harus melakukan protes keras, jika perlu laporkan perilaku arogan seperti ini ke polisi karena sudah pasti mengganggu ketertiban dan kepentingan umum. Sebagai penutup, seolah tulisan para pengkhotbah, hanya imbauan agar para pejabat mawas diri, berlaku santun, menghormati kepentingan umum, dan memberikan suri tauladan yang baik, layak untuk diterapkan. Mereka adalah cermin dan panutan bagi rakyatnya. (mbs) - See more at: http://suar.okezone.com/read/2013/12/23/59/916120/arogansi-pejabat#sthash.P8NiF1To.dpuf