Entah dari mana asal mulanya,tapi  pameo tersebut seolah dipercaya sebagai “kebenaran”dan karena itu sering  sekali diucapkan,terutama di kalangan politisi. Itu menyebabkan  politisi merasa mendapatkan legitimasi untuk berkata yang tidak sesuai  fakta; yang penting tujuan lebih mudah tercapai, apalagi apabila merasa  bahwa tujuan yang hendak dicapai adalah kebaikan. Seolah tujuan bisa  “mengalahkan” cara.
Padahal kebaikan seharusnya dicapai dengan  jalan kebaikan pula, bukan dengan menghalalkan segala cara. Pameo  politik tersebut sedikit- banyak telah mendorong sebagian besar politisi  untuk melakukan kebohongan dalam pernyataan-pernyataan mereka.  Kepandaian atau kelihaian dalam melakukan kebohongan bahkan dijadikan  sebagai salah satu ukuran kehebatan dalam berpolitik. 
Makin  lihai melakukan kebohongan, sang politisi dianggap makin lihai dalam  berpolitik.Itulah sebab, dunia politik makin ramai oleh ingar-bingar  pernyataanpernyataan yang kontradiktif Politisi melakukan kebohongan,  setidaknya untuk tiga kepentingan. Pertama, untuk mengklaim sesuatu yang  sesungguhnya tidak dikerjakan. Politisi yang miskin prestasi kinerja  dan ingin tetap mempertahankan kuasa biasanya berusaha untuk membangun  citra dengan melakukan iklan di berbagai media massa.Citra yang ada sama  sekali bukan berdasarkan fakta, melainkan sekadar buah rekaan belaka. 
Kedua,  untuk berapologi agar tidak terlalu disalahkan ketika tidak mampu  menyelesaikan atau mengatasi permasalahan yang terjadi,terutama  permasalahan yang menyangkut kepentingan publik luas. Biasanya  kebohongan jenis ini dilakukan dengan cara beretorika tingkat tinggi  agar masyarakat tidak menangkap pokok permasalahan yang seharusnya  dibicarakan. Cara ini juga sangat efektif untuk mengalihkan perhatian  masyarakat atau sering disebut dengan istilah “pengalihan isu”. 
K  e t i g a , untuk menyelamatkan diri akibat penyelewengan kekuasaan.  Kebohongan diharapkan dapat menghindarkan mereka yang sedang berhadapan  dengan hukum dari hukuman penjara, atau setidaknya meringankan hukuman.  Kebohongan jenis ini, terutama akhirakhir ini, bisa disaksikan dalam  pengadilan ketika mereka dicecar pertanyaan oleh hakim atau jaksa dalam  kasuskasus korupsi yang mendapatkan perhatian publik luas. Mereka juga  berusaha keras untuk menghilangkan bukti materiil sehingga bisa lepas  dari jeratan hukum. 
Dengan melakukan kebohongan, tampaknya  mereka percaya diri bahwa rakyat masih bisa percaya kepada mereka. Dan  memang seringkali itulah yang terjadi.Sesungguhnya ini juga terjadi di  banyak tempat yang lain. Dalam konteks ini Charles de Gaulle  (1890–1970), Presiden Pertama Prancis memiliki gambaran yang sangat  menarik. Dia mengatakan: “politisi tidak pernah percaya kepada ucapan  mereka sendiri. Karena itu, mereka sangat heran bila rakyat mempercayai  mereka.” 
Profesional 
Agar kebohongan mereka tidak  tertangkap dengan mudah, pilihannya adalah berbohong dengan profesional.  Salah satu kualitas profesionalisme dalam berbohong ini melakukannya  dengan sangat santun. Kesantunan inilah yang menjadi alat pengecoh  paling ampuh.Kesantunan itu seringkali bahkan membuat yang menyaksikan  aksi kebohongan itu terkagum- kagum. 
Kebohongan yang dilakukan  dengan profesional itulah yang menyebabkan terjadi banyak sekali  tindakan penyelewengan kekuasaan dalam berbagai bentuk. Praktik korupsi  yang makin marak dengan sangat mudah kita tangkap kebenaran  logisnya.Namun, kebenaran itu menjadi seolah tidak faktual karena tidak  terdapat bukti materialnya, terlebih pelaku yang diduga melakukannya  sering tampil dengan mimik muka dan bahasa tubuh yang sangat santun. 
Akibat  itu,banyak uang negara yang hilang, tetapi jarang ditemukan  koruptornya. Kalau digunakan ungkapan: “jika ada asap, ada api”, dalam  konteks ini ada banyak asap,tetapi tidak ditemukan apinya. Akar penyebab  semua itu adalah anggapan bahwa kesantunan adalah yang utama. Padahal  yang paling utama sesungguhnya adalah kejujuran atau amanah. Itulah  sebab, kepemimpinan sering diidentikkan dengan amanah. Seorang pemimpin  haruslah konsisten dalam menjalankan amanat rakyat. Kesantunan tanpa  kejujuran justru lebih berbahaya. 
Kesantunan baru menjadi  penting apabila kejujuran telah ada,agar kejujuran yang seringkali  terasa pahit atau menyakitkan orang lain jika disampaikan secara apa  adanya,bisa lebih diterima. Untungnya, kita masih memiliki  pepatah-pepatah lain yang positif yang berkaitan dengan kebohongan  seperti “tak mungkin kertas membungkus api”, “serapat-rapat bangkai  terbungkus, baunya tetap tercium juga”, dan yang lainnya. Namun,pepatah  yang terakhir tersebut tidak memiliki daya dorong untuk membuat  masyarakat aktif. 
Mereka menjadi apatis karena pepatah tersebut  membuat mereka berpandangan bahwa sebuah kebohongan tidak perlu diungkap  karena akan terungkap dengan sendiri. Itulah yang menyebabkan para  pembohong semakin merajalela. Dengan kekuasaan dan uang yang mereka  miliki, mereka dapat membungkus ketidakmampuan mereka dengan iklan yang  sangat masif sebagai seolah-seolah pemimpin atau pejabat negara yang  berhasil. Padahal sesungguhnya mereka belum melakukan sesuatu yang  signifikan, yang setimpal dengan segala fasilitas yang mereka dapatkan  sebagai pemimpin dan penyelenggara negara.
Karena itu, dibutuhkan  pepatah- pepatah baru yang bisa membuat masyarakat memiliki semangat  untuk mengungkap setiap kebohongan yang dilakukan oleh pejabat negara  agar mereka tidak hanya menebar pesona, tetapi juga segera memulai kerja  nyata. Wallahu a’lam bi al-shawab.● 
DR MOHAMMAD NASIH 
Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ; Pengurus Dewan Pakar ICMI Pusat 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar