Berbagi Pengetahuan

Blog ini dibuat sebagai kliping media.

Semoga bermanfaat

Jumat, 28 September 2012

FILOLOGI DI PESANTREN (1) Pesantren Jangan Buta Filologi


Rabu, 19/09/2012 08:30

Oleh Fathurrahman Karyadi

Beberapa waktu lalu kami berkesempatan berkunjung ke sebuah pesantren tua di Jawa Timur. Oleh seorang pengurus pesantren, kami diajak keliling menelusuri ruang dan gedung yang boleh dikunjungi tamu. Sampailah di ruang yang cukup besar dengan interior menarik. Di sana terdapat beberapa lemari kaca besar yang dilengkapi dengan lampu sorot. Setelah kami dekati ternyata lemari itu adalah tempat penyimpanan manuskrip kuno yang bisa dilihat siapa saja yang menginginkannya. Menarik sekali sebuah pesantren menaruh perhatian lebih kepada dunia manuskrip.

Kami yakin hanya beberapa pesantren saja yang sudah melakukan hal serupa di atas. Masih banyak pesantren-pesantren tua yang belum ”tergugah” untuk menyelamatkan manuskrip para leluhurnya. Naskah-naskah kuno yang menyimpan banyak ilmu itu dibiarkan saja tanpa dimanfaatkan secara luas. Sengaja disimpan di lemari khusus yang tak bisa diakses banyak orang. Padahal itu adalah aset bangsa dan cagar budaya yang harus dilestarikan dan dipelajar oleh generasi selanjutnya.

Filologi 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan filologi adalah ilmu tentang bahasa, kebudayaan, pranata,dan sejarah suatu bangsa sebagaimana terdapat dalam bahan-bahan tertulis. Sedangkan filologis bisa diartikan mengenai atau berdasarkan, secara filologi. Dan orang yang ahli dalam bidang itu disebut filolog. Sementara itu, menurut Nabilah Lubis (2001: 16) pengertian filologi adalah pengetahuan tentang sastra-sastra dalam arti luasmencakup bidang bahasa, sastra dan kebudayaan.

Singkatnya, filologi merupakan ilmu khusus mempelajari naskah disertai pembahasan dan penyelidikan kebudayaan bangsa berdasarkan manuskrip atau naskah klasik yang biasanya tertulis pada media kulit hewan, kayu, bambu, lontar, dan kertas. Dari mansukrip itulah orang dapat mengetahui latar belakang kehidupan masyarakat pada zaman dahulu. Baik khazanah keaagamaan, adat istiadat, kesenian, bahasa, pendidikan, hikayat, resep masakan dan pengobatan.

Dalam Undang-Undang no.5 tahun 1992, manuskrip dikategorikan sebagai benda cagar budaya. Hanya orang memang lebih sering menyebut, pasti karena ketidaktahuannya, arca, masjid, makam, atau artefak lain belaka ketimbang naskah kuno, ketika menyebut soal benda cagar budaya nasional itu. Padahal, dari segi jumlah saja, naskah kuno, yang berisi rekam jejak berbagai aspek kehidupan dan tradisi masa lalu kita itu, berlipat-lipat jauh lebih banyak dalam beragam bahasa dan aksara, serta lebih rentan musnah karena bahan kertas yang digunakannya.

Tokoh dari Pesantren

Ada beberapa tokoh cendikiawan muslim dari Pesantren yang bisa dikatakan sebagai filolog, ahli filologi. Di antaranya KH Maimun Zubair, KH Sahal Mahfudz dan KH Abdul Qayyum Manshur. Ketiganya bersentuhan langsung dengan karya agung Syaikh Mahfudz al-Tarmasi (1868-1920), guru pendiri NU Hadratus Syaikh KH M Hasyim Asy’ari. Kiai Maimun men-tahqiq kitab Syaikh Mahfudz bertajuk Nabi Hidr As dengan judul Inayah al-Muftaqarr. Kitab itu merupakan saduran dari Imam Ibnu Hajar al-Asqalani. Tampaknya naskah asli dari kitab tersebut hanya dimiliki oleh Kiai Maimun saja. Diterbitkan oleh Pesantren al-Anwar Sarang Rembang tahun 2007.

Berkenaan dengan karya Syaikh Mahfudz, Kiai Sahal banyak mengutip pendapat Syaikh Mahfudz dalam bidang ushul fiqh. Beliau memiliki naskah-naskah Syaikh Mahfudz yang belum terbit (makhtuthtath) dan mempublikasikannya dengan menjadikan naskah tersebut sebagai rujukan utama dalam kitab-kitab beliau seperti Thariqah al-Husul ila Ghayah al-Wushul, Al-Bayan al-Mulamma’ ‘an Alafazh al-Luma’ dan sebagainya.

Sedangkan Gus Qayyum beliau juga menyimpan beberapa naskah ulama nusantara yang belum terbit. Ayahnya adalah Kiai Manshur yang termasuk murid Syaikh Mahfudz di Makkah. Ke depan beliau hendak menerbitkan kitab-kitab tersebut karena dianggap sangat urgen bagi khazanah keislaman Indonesia.

Tidak tinggal diam, ternyata Kementrian Agama RI menaruh perhatian dalam menyelamatkan naskah-naskah pesantren. Beberapa santri dan ustadz diberi beasiswa untuk mendalami Filologi di UIN Yogyakarta. Berkat jerih payah itu, kini sudah terbit beberapa kitab hasil garapan santri filolog itu seperti kitab Manhaj Dzawi al-Nadzar (817 hal), al-Minhah al-Khairiyyah (86 hal) dan al-Khi’ah al-Fikriyah (342 hal). Ketiganya merupakan karya Syaikh Mahfudz al-Tarmasi di bidang hadtis.

Perpustakaan Pesantren

Sebenarnya banyak langkah untuk menyelamatkan naskah-naksah pesantren dan mengembangkan ilmu filologi di pesantren. Diantaranya dengan memaksimalkan peran perpustakaan. Katalog perpustakaan pesantren jangan hanya monoton pada judul-judul kitab kuning klasik. Tetapi perkaya pula dengan ilmu-ilmu umum terlebih tentang sejarah, sastra, filologi, tekstologi, arkeologi, geografi dan jurnalistik. Di samping itu pula perpus pesantren harus memiliki tenaga yang berkompeten. Sehingga perpustakaan bisa terus berkembang bukan hanya karena katalog buku yang bertambah tetapi juga dengan diskusi serta menjalin hubungan dengan perpustakaan lain baik di dalam negeri maupun luar.

Pesantren Tebuireng kini dalam tahap di atas, melengkapi koleksi buku dari berbagai macam displin ilmu serta mendatangkan pustakawan handal alumnus Leiden Library, Belanda. Dengan hadirnya Muhammad As’ad di perpustakaan Pesantren Tebuireng harapan menuju standar perpustakaan pesantren nasional akan terlaksana dengan mudah. Sehingga para pengunjung tidak hanya menikmati koran atau buku yang sudah terbit tetapi naskah asli puluhan atau bahkan ratusan tahun silam bisa mereka teliti di sana.

Semoga para pimpinan pesantren tergugah untuk benar-benar menyelamatkan manuskrip pesantrennya, bukan hanya disimpan dalam lemari pribadi tetapi menaruhnya di perpustakaan pesantren untuk bisa dinikmati oleh semua pengunjung dan diteliti oleh para calon ilmuwan pesantren. Serta, semoga pemerintah terus memberikan beasiswa kepada para santri untuk memperdalam filologi. Jika di kampus besar banyak filolog namun mereka tidak punya naskah untuk diteliti, sebaliknya dengan pesantren yang memiliki banyak manuskrip namun tidak punya filolog.


* Mahasiswa Ma’had Aly Tebuireng Jombang dan peminat filologi.
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,39849-lang,id-c,kolom-t,Pesantren+Jangan+Buta+Filologi-.phpx

Tidak ada komentar:

Posting Komentar