Berbagi Pengetahuan

Blog ini dibuat sebagai kliping media.

Semoga bermanfaat

Minggu, 20 November 2011

Menghabisi Perampok Uang Rakyat

Tuesday, 04 October 2011
 Membaca, mendengar, dan menonton berbagaiberitamediamassa mengenai korupsi selama era Reformasi,hati ini miris.Jika di masa Orde Baru mereka yang tersangkut masalah korupsi sebagian besar adalah pejabat politik dan aparat negara dari kalangan eksekutif, di era Reformasi justru merata di tiga cabang institusi: legislatif,eksekutif, dan yudikatif.


Berubahnya bandul politik dari yang dulu berat ke eksekutif (executive heavy) menjadi ke legislatif (legislative heavy) pada era Reformasi menyebabkan lembaga perwakilan rakyat di tingkat pusat,DPR,memiliki kekuasaan amat besar bukan saja di bidang legislatif,melainkan juga ke eksekutif dan yudikatif.

Tengok misalnya, DPR kini memiliki hak inisiatif yang amat besar dalam membuat rancangan undang-undang,kecuali dalam RUU APBN.DPR memiliki kekuasaan yang amat besar dalam menentukan seseorang atau sekelompok orang menduduki jabatan sebagai Panglima TNI,Kapolri,duta besar, komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU),Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), hakim agung,anggota Komisi Yudisial, dan sebagainya.

DPR juga memiliki sebagian fungsi yudikatif dalam mengawasi jalannya pemerintahan dengan berbagai hak yang dimilikinya.Satu hal yang kini marak dibicarakan orang, para “oknum”di komisi-komisi dan Badan Anggaran (Banggar) DPR juga dapat menentukan daerah mana yang patut diberi anggaran pembangunan, berapa jumlahnya, proyeknya apa, kontraktornya siapa, asalkan memberikan fee kepada para oknum tersebut.

Para oknum perampok uang rakyat itu, bahasa kerennya mafia anggaran,memang tidak bermain sendirian, tapi bekerja sama dengan pejabat di kementerian/ lembaga, pejabat daerah, pengusaha, dan ada juga yang melalui calo di kementerian atau di DPR.Kerja mereka amatlah rapi!

Tak heran jika anggota Banggar DPR dari Fraksi Partai Golkar,Bambang Soesatyo, mengatakan, “Permainan mafia anggaran melibatkan banyak pihak dan tertutup.Sulit untuk membuktikan dugaan permainan itu karena praktiknya seperti orang buang gas.Ada bau,tetapi sulit diketahui siapa yang membuang gas.” (Kompas, Kamis, 29/9/2011).

Maka itu, jangan heran ketika hasil verifikasi Pos Pengaduan Praktik Mafia Anggaran yang dimotori fungsionaris Partai Golkar Zainal Bintang dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Laode Ida dimuat sebuah harian nasional di Jakarta langsung membuat kaget pimpinan Banggar dan anggota komisi yang namanya tercantum dalam laporan itu. Kata-kata “fitnah”, “akan menuntut”,“saya tak tahu apaapa”, atau “nama saya dicatut” menjadi kosakata yang umum kita baca atau dengar belakangan ini.

Ini berarti terminologi Bambang Soesatyo mengenai praktik mafia anggaran “seperti orang buang gas” bukan lagi sebuah asumsi, melainkan bisa melompat menjadi paradigma! Sebenarnya praktik mafia anggaran bukan cerita baru. Sejak lama orang sudah menciumnya walau sulit membuktikannya.

Info utama mengenai mafia anggaran ini justru datang dari para anggota DPR. Seorang pimpinan DPR pernah bercerita kepada penulis bagaimana mafia anggaran itu bekerja. Ia hanya mengelus dada sembari mengatakan,“Itulah kalau politisi di DPR tidak memiliki penunjang dana bagi keberadaannya di DPR.Modal yang mereka keluarkan untuk terpilih menjadi anggota DPR amat besar,dari ratusan juta rupiah sampai miliaran rupiah.”

Bahkan ada anggota DPR yang menurut informasi yang penulis dapatkan dari rekan di DPR mengeluarkan uang sampai Rp6 miliar agar terpilih pada Pemilu Legislatif 2009. Fantastis! Seorang anggota DPR lain bercerita, di Banggar itu pemain utamanya tidak banyak, kurang dari lima orang.

Mereka ditunjang oleh para “korlap” (koordinator lapangan) yang bertugas menjadi perantara antara pimpinan Banggar,pejabat kementerian, kepala dinas di daerah,dan pengusaha.Kadang pejabat tinggi kementerian sendiri yang menawarkan proyek pembangunan kepada bupati atau kepala dinas, dengan syarat daerah membayar 10% fee di muka!

Kadang pula oknum anggota DPR dari salah satu komisi yang datang ke daerah menawarkan proyek kepada pimpinan daerah dengan janji pasti dapat asalkan pimpinan daerah menyerahkan fee yang angkanya sama,10%! Uang diserahkan baik dengan cara transfer antarbank atau tunai.

Mereka lebih menyukai cara tunai karena khawatir transfernya akan diketahui PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan). Uang yang diminta menggunakan kata sandi yang sangat inspiratif,“Apel Malang”untuk mata uang rupiah atau “Apel Washington” untuk mata uang dolar Amerika Serikat (AS).

Jika terjadi penangkapan oleh KPK,ibarat operasi intelijen, para pimpinannya akan menyatakan tidak tahu-menahu dan membiarkan para korlapnya berhadapan dengan aparat KPK. Seorang pemimpin mafia di DPR ketika beberapa kawannya sudah masuk bui karena kasus korupsi ada yang merasa dirinya “sakti” dan mengatakan kepada para wartawan bahwa “Kaus yang saya pakai ada tujuh lapis,KPK tak bisa menyentuhnya!” Apa lacur, akhirnya dia juga dijatuhi hukuman satu tahun lebih oleh Pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi).

Gas buangan yang tidak berwarna, tidak bisa dilihat, ternyata tetap saja dapat dicium dan dibuktikan siapa yang membuang gas busuk itu. Informasi mengenai mafia anggaran juga bisa kita dapatkan dari anggota DPR atau pengusaha yang tertangkap.

Kasus korupsi yang menyangkut M Nazaruddin, El Idris,dan Mindo Rosalina Manullang adalah kasus yang menyebabkan mereka “bernyanyi ria” membongkar siapa-siapa saja yang terlibat dalam perampokan uang rakyat itu. Kita berharap bukan hanya mereka bertiga dan sekjen Kemenpora yang akan diperiksa KPK dan diadili di Pengadilan Tipikor.

Atas nama keadilan, mereka yang tersangkut dalam kasus korupsi dalam proyek apa pun yang menyangkut komisi dan Banggar DPR––baik pengusaha, birokrat, anggota dan pimpinan komisi/Banggar, bahkan menteri––harus diadili seadil-adilnya dan harus masuk bui jika terbukti bersalah.

Tanpa itu,negeri ini tidak akan meningkat peringkat persepsi korupsinya ke arah yang lebih baik. Negeri ini akan tetap dipandang sebagai negeri yang oknum-oknum pejabat legislatif, eksekutif,dan yudikatifnya amat korup.Jika oknumnya banyak, tepatkah kita menggunakan kata oknum lagi???  IKRAR NUSA BHAKTI Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI
Gara-gara Lempar Pasir, Guru SDN Diadili                               
 Tuesday, 04 October 2011
 Nasib malang menimpa Vini Noviani,33,akibat perbuatannya melempar pasir ke Hehe Samsyudin yang berstatus sebagai pengembang Perum Balai Kembang,pada 6 Juni 2011 lalu.

Guru honorer SDN Regol XIII Kiansantang harus duduk di kursi pesakitan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya pada sidang yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Garut,kemarin. Dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Arumi Ningsih,guru bahasa Inggris tersebut didakwa telah menganiaya H Hehe Samsyudin. Wanita cantik berkulit putih ini dikenakan Pasal 351 ayat 1 KUHP tentang Penganiayaan. Akibatnya,terdakwa terancam hukuman 2 tahun 8 bulan.

Dari informasi yang dihimpun SINDO,setelah dilempari pasir oleh terdakwa, korban kemudian melaporkan kejadian tersebut ke Polsek Garut Kota dan memperkuat laporannya tersebut dengan hasil visum luka yang dialami dirinya dari RSUD dr Slamet Garut.Kasus pun kemudian berkembang dengan dilimpahkannya berkas kepada pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Garut.

Peristiwa pelemparan itu sendiri setidaknya terjadi di Jalan Dayeuh Handap, Kelurahan Kota Kulon, Kecamatan Garut Kota sekitar 09.30WIB.Bermula saat terdakwa terlibat cekcok dengan korban di depan rumahnya,di Perum Balai Kembang.Dalam perselisihan itu,korban yang emosi kemudian mendorong terdakwa hingga terjatuh. Tidak terima mendapat perlakuan seperti itu,terdakwa yang masih tersungkur kemudian mengambil segenggam pasir dan secara spontan melemparkannya ke tubuh bagian atas korban.

Suami terdakwa,Yadi Mulyadiono,37,yang ketika itu melihat langsung kejadian tersebut langsung melerai dengan mencoba memisahkan korban. Menurut Yadi,insiden antara istrinya dengan korban dipicu masalah tunggakan kredit rumah yang sudah mereka tempati selama kurun waktu 3,5 tahun.Karena berbagai hal,Yadi dan terdakwa tidak sanggup membayar angsuran selama lima bulan. Akan tetapi,tanpa perundingan dan pemberitahuan terlebih dulu,cicilan rumah mereka ke pihak bank dibayar lunas oleh korban. Selanjutnya,korban pun meminta agar Yadi membayar bunga atas pelunasan yang dilakukan korban sebesar Rp3,5 juta per bulan.

Sementara itu,Jaksa Penuntut Umum (JPU) Regi Komara mengatakan,terdakwa secara meyakinkan telah melanggar Pasal 351 ayat 1. Menurut Regi,terdakwa telah melakukan perbuatan yang menyebabkan korban mengalami sejumlah luka di wajah.“Dari hasil visum yang disertakan,korban mengalami luka lecet di dahi sebelah kiri dan memar pada dahi sebelah kanan,”katanya. Kasus ini sendiri setidaknya mendapatkan berbagai tanggapan dari berbagai pihak. Praktisi hukum sekaligus Lektor Kepala Sekolah Tinggi Hukum (STH) Garut Djohan Djuhari menilai,ada kejanggalan dalam proses hukum yang dijalani terdakwa.

Dia menganggap,pihak kejaksaan dan pengadilan tidak berhak menahan terdakwa dikarenakan yang bersangkutan tidak memiliki motif untuk melarikan diri. Senada dengan Djohan, Ketua Forum Guru-Guru Kabupaten Garut Dadang Johar Arifin mengaku sangat menyayangkan terjadinya kasus ini.Menurut Dadang, sebenarnya masalah ini bisa diselesaikan secara kekeluargaan. F

ANI FERDIANSYAH
Garut 
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/432862/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar