Berbagi Pengetahuan

Blog ini dibuat sebagai kliping media.

Semoga bermanfaat

Selasa, 04 Oktober 2011

Mengawal Politik Anggaran

Wednesday, 05 October 2011
Perlahan tapi pasti terungkaplah modus operandi mafia anggaran di DPR.Pahit kenyataannya karena ternyata penyelewengan dana anggaran belanja negara terjadi dari hulu ke hilir,mulai dari proses pengajuan draf kebijakan fiskal dan ekonomi sampai pencairan dana untuk proyek di daerah.


Laporan sementara yang dirilis media massa menyatakan, oknumnya berasal dari DPR, kementerian, calo profesional, pebisnis, pemerintah daerah, sampai LSM. Sejauh ini analisis kegiatan penyelewengan anggaran ini terlalu fokus pada pembahasan mafianya, tetapi tidak pada pengaturan bagaimana pembagian dana publik dialokasikan di daerah tertentu untuk keuntungan kepentingan politik tertentu.

Perlunya payung hukum untuk pengaturan jauh lebih penting daripada menolaknya karena kegiatan politik macam ini melekat pada sistem demokrasi, di mana wakil rakyat dan kepala daerah dipilih melalui pemilu,dan dianut pula sistem desentralisasi kekuasaan atau sistem federal.

Dengan kata lain, anggaran belanja negara memang bersumber dari politik kekuasaan, baik antara legislatif dan eksekutif, legislatif dan pelobi,maupun antarpihak pemerintah pusat dan daerah. Kita perlu menjaga diri agar tak terlalu sinis pada Badan Anggarannya, tetapi wajib kritis pada tahap-tahapan pengucuran dana publik yang berpangkal di sini.

Tiadanya pengaturan membuat proses alokasi dana publik untuk daerah atau proyek tertentu demi kepentingan politik tertentu melibatkan banyak tangan yang membuat alokasi tersebut rawan korupsi. Semakin banyak invisible hand yang terlibat, semakin banyak pula dana publik yang hilang dikorupsi.

Di Amerika Serikat (AS) dana ini dibagikan di Kongres dan meskipun usia demokrasi mereka jauh lebih tua daripada kita, masih kerap dijumpai dana tersebut berlabuh di tangan kontributor kampanye. Di Filipina, dana ini mengalir melalui Countrywide Development Fund (Dana Pengembangan Negeri).

Ketika dana tersebut dihapuskan pada masa Presiden Joseph Estrada, parlemennya membuat Lingap para sa Mahirap dan Rural/Urban Development Infrastructure Fund, yang maknanya serupa yakni dana untuk pengentasan kemiskinan dan pengembangan infrastruktur perdesaan dan perkotaan. Jepang,Australia, Inggris, bahkan Finlandia dan India punya dana serupa.

Mereka yang telah memiliki payung hukum pun masih rawan dikorupsi, apalagi yang tidak memilikinya. Istilah berkonotasi negatif yang umum digunakan untuk proses pengucuran dana macam ini adalah pork-barrel politics atau politik gentong babi. Permainan pork-barrel memang umum terjadi di tahap pembahasan di parlemen, pengucuran dana,penerapan anggaran, dan sebenarnya juga dalam proyek kementerian/kepresidenan.

Di satu sisi,pork-barrel membawa berkah bagi politisi yang membagikan dana. Penelitian dari Boston University pada Mei 2011,Douglas Kriner & Andrew Reeves, menunjukkan bahwa di AS pemilih menyokong presiden (atau calon dari partainya) yang meningkatkan dana pemerintah pusat untuk komunitas di daerah pemilihannya.

Dana adalah hadiah politik dalam pemilu asalkan garis tanggung jawabnya jelas dan daerah pemilihnya punya garis ideologi yang selaras dengan calon presiden.Pork-barrel juga merupakan proyek yang biayanya ditanggung banyak orang karena sumber dananya adalah pajak, tetapi yang diuntungkan hanya segelintir orang.

Dalam diskusi dengan seorang rekan kerja,saya simpulkan bahwa pork-barrel di Indonesia lebih banyak celakanya daripada untungnya karena sejumlah kesenjangan berikut. Pertama, tidak ada peraturan perundangan yang mengatur pelaksanaan pork-barrel, padahal di negara lain ada UU tentang hal ini.

Dalam APBN, dana ke daerah diatur dalam UU 33/2004 yakni DAU,DAK, dan dana bagi hasil, tetapi komponen dana dekonsentrasi tersebut tidak diatur detil pembagiannya sehingga muncullah yang disebut dana penyesuaian.

Ini sumber masalah karena aturan mainnya hanya berupa kesepakatan antara Badan Anggaran dan Kementerian Keuangan. Ruang keleluasaan penentuan pembagian dananya terlalu besar antara dua lembaga ini.

Kedua, kebutuhan anggota DPR untuk membawa “proyek” bagi daerah pemilihannya masih mendatangkan penolakan banyak pihak, dan kalaupun ada melalui dana bagi hasil,perhitungannya berdasarkan jumlah pemilih, padahal justru kerap ditemukan bahwa di daerah yang jumlah pemilihnya sedikit butuh biaya besar (misalnya Papua,Kalimantan).

Ketiga,dana belanja daerah tidak dibahas di komisi dan tanpa menyertakan mitra kerja di kementerian dan lembaga negara, padahal implementasinya akan mengikutsertakan pihak- pihak tersebut.

Keempat, informasi hasil kesepakatan di Badan Anggaran dan rencana realisasi di lapangan tidak tersedia untuk publik. Itu sebabnya dengan mudahnya kesepakatan yang ada kemudian dicalokan dengan sejumlah tambahan biaya.

Dalam era demokrasi dan desentralisasi kekuasaan ke daerah, satu hal perlu diingat bahwa DPR dan DPRD sesungguhnya punya hak mengelola dana untuk kepentingan daerah pemilihannya. Tak cukup bagi mereka untuk punya hak menyusun anggaran bila bagi pemilihnya ia tak punya instrumen untuk “berterima kasih”.

Yang perlu dijamin adalah agar dana optimalisasi ini punya payung hukum. Selain itu,DPR juga perlu dibantu oleh deretan staf yang menguasai substansi pelayanan publik. Di AS ada Congressional Budget Office yang staf-stafnya sekaliber staf pejabat kementerian.

Tanpa ini,perdebatan anggaran menjadi dagang sapi belaka, apalagi karena proses rekrutmen politisi di Indonesia belum sesuai keahlian. Ada baiknya juga dipikirkan mekanisme keterlibatan DPD dalam penyusunan anggaran daerah karena DPD seharusnya digalakkan untuk menyuarakan kebutuhan daerah.

Pada akhirnya perlulah kita sadari bahwa penyelewengan dana publik tak mungkin terjadi bila satu pihak saja menolak untuk menyelewengkannya. It takes two to tango– butuh dua pihak supaya penyelewengan terjadi. Karena itu, integritas para pejabat kementerian dan DPR perlu ditempa terus supaya layak menerima kepercayaan publik melalui kemenangan dalam pemilu.  DINNA WISNU PHD Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/433324/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar