Berbagi Pengetahuan

Blog ini dibuat sebagai kliping media.

Semoga bermanfaat

Minggu, 02 Oktober 2011

IQ

               
 Sunday, 02 October 2011
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/432444/
 Sepertinya hampir semua orang Indonesia tahu atau pernah mendengar tentang IQ. Bahkan banyak yang sudah pernah menjalani tes IQ.Minimal Anda,pembaca tulisan ini, pasti tahu apa artinya IQ lebih dari 120 (pandai), 100 (rata-rata),dan kurang dari 80 (terbelakang).


Tidak salah pendapat Prof Ray Fowler (Ketua International Association of Applied Psychology) bahwa Indonesia adalah negara nomor dua di dunia (sesudah Brasil) di mana psikologi paling populer di kalangan masyarakat awam. Amerika Serikat boleh paling canggih dalam pengembangan riset dan teori psikologi, tetapi tidak banyak ibu-ibu di sana yang minta agar anaknya dites IQ atau tes bakat.

Juga sedikit sekali perusahaan di sana, yang meminta jasa psikolog untuk melaksanakan psikotes untuk menyeleksi calon-calon pegawainya seperti yang banyak dilakukan perusahaan-perusahaan di Indonesia. Dulu waktu saya kuliah di Fakultas Psikologi UI, awal tahun 1960-an,saya diajari mengambil tes IQ.

Tes itu terdiri atas banyak subtes seperti berhitung, menghafal angka, merangkai kata-kata, menyusun gambar-gambar,menyusun balok- balok,dan sebagainya. Nama tes itu adalah tes WB (Wechsler Bellevue) yang sampai sekarang masih dipakai (walaupun sudah mengalami perubahan berbagai versi).

Selanjutnya saya belajar bagaimana menghitung skor dari hasil tes itu dan mengubahnya ke dalam skor baku yang dinamakan IQ.Maka saya pun bisa mengetahui berapa IQ klien saya itu, dan dosen saya mengajarkan bahwa kalau IQnya di atas 120 boleh dianjurkan masuk universitas, kalau 100 disarankan ke akademi (sekarang mungkin D3), kalau 90 ke sekolah kejuruan,dan kalau kurang dari 80 dimasukkan ke sekolah luar biasa (SLB).

Saya juga diajari bagaimana caranya kita sampai pada daftar skor IQ yang baku itu. Nama mata kuliahnya: Statistik. Nilai hasil tes sejumlah besar (ratusan sampai ribuan) orang dihitung rata-ratanya dan simpang bakunya (untuk menjelaskan ini perlu belajar satu bab sendiri dari buku statistik), dan dibuat grafiknya yang berbentuk gunung (di Barat disebut Kurve Bel).50% dari sampel akan menumpuk di tengah, biasanya kita beri skor 90-110, dengan titik tengahnya (puncak gunung) adalah skor 100 (rata-rata).

Di lereng gunung sebelah kanan adalah skor-skor yang makin tinggi untuk orang yang lebih pandai dari orang kebanyakan.Makin tinggi skor,makin sedikit orang yang bisa mencapainya (konon Einstein ber-IQ 140),karena itu grafiknya (lereng gunung) juga makin menurun. Sebaliknya, lereng sebelah kiri adalah untuk orang-orang yang IQ-nya kurang dari rata-rata.Makin ke kiri makin terbelakang.

Jumlah mereka pun makin sedikit. Ilmu statistik adalah ilmu yang ditakuti oleh rata-rata mahasiswa psikologi sampai hari ini karena memang sulit dan rumit dan dosennya,entah kenapa, rata-rata galak.Tetapi ketika psikolog Jerman Louise William Stern (1871-1938) pertama kali meluncurkan ide tentang IQ ini, konsepnya mudah saja.

Dia melihat bahwa ada anak-anak yang kecerdasannya melebihi rata-rata kawannya, tetapi ada yang kurang dari kawan-kawannya. Anakanak ini disuruhnya melakukan beberapa tugas (berhitung, mengeja, membaca, melaksanakan perintah, dan sebagainya) untuk dihitung usia mentalnya.

Usia Mental ini kemudian dibagi dengan Usia Kalendernya dan dikalikan seratus, didapatlah skor IQ.Jadi rumusnya adalah: IQ = (UM:UK)x100. Seorang yang UM-nya 8 tahun (mampu melaksanakan tugas-tugas untuk anak seusia 8 tahun), padahal UK-nya baru 7 tahun,maka IQnya= (8:7)x100 = 114. Kalau skor UM-nya hanya mencapai 6 tahun, maka IQ anak yang berusia 7 tahun = 86.

Sedangkan kalau UM pas sama dengan UK,maka IQ-nya 100. Gampang,kan? Tetapi prinsip dalam IQ adalah harus bisa diukur,diskor,dan dihitung (dibagi dan dikali).Karena itulah namanya IQ, yang artinya Intelligence Quotient (quotient = hasil bagi). Sekarang bagaimana halnya dengan EQ (Emotional Quotient) dan ESQ (Emotional and Spiritual Quotient) yang akhir-akhir ini sangat populer (konon kursus untuk meningkatkan ESQ jutaan rupiah)?

Memang teori yang diajarkan oleh dosen-dosen saya pada tahun 1960-an, sekarang tidak berlaku lagi. Hasil riset dan kenyataan membuktikan bahwa anak-anak yang pandai di sekolah belum tentu berhasil dalam hidupnya.Temanteman saya yang dulu pintarpintar di sekolah banyak yang hanya jadi pegawai biasa, malah ada yang pengangguran (saya kira teman-teman Anda pun begitu).

Teori IQ klasik itu bahkan bisa disalahgunakan,karena orang terlalu mengandalkan pada tes IQ. Sebuah sekolah favorit, misalnya, minta hasil tes IQ di atas 120 untuk bisa diterima di sekolah itu. Maka ibu-ibu pun berbondongbondong ke Biro Psikologi untuk mengeteskan anaknya, sekaligus minta skor 120 dilebihkan sedikit. Dengan sekadar tambahan biaya, permintaan itu bisa dipenuhi.

Pelanggaran Kode Etik! Tetapi apa boleh buat, di zaman itu pengawasan oleh Himpsi (Himpunan Psikologi Indonesia) belum seketat sekarang. Pada 1983, psikolog Amerika, Howard Gardner,meluncurkan bukunya tentang multiple intelligences (kecerdasan majemuk). Dalam bukunya, Gardner berteori bahwa kecerdasan tidak hanya satu, yang diwujudkan hanya dalam satu skor.

Kecerdasan itu banyak macamnya, minimal ada delapan jenis dan satu sama lain tidak selalu saling terkait. Seorang yang cerdas matematika-logika belum tentu cerdas musikal atau cerdas kinestetika (gerak tubuh). BJ Habibie belum tentu bisa bernyanyi, apalagi menari. Chrisye sangat cerdas musikal, tetapi tidak cerdas kinestetika (kalau menyanyi diam seperti patung), sedangkan Agnes Monika cerdas musikal dan kinestetika.

Tetapi jangan tanya soal bikin kapal terbang pada Chrisye dan Agnes, pasti tidak bisa. Kecerdasan-kecerdasan lain, menurut Gardner, adalah spasi (untuk pelukis,pematung, arsitek), bahasa, hubungan antarmanusia (gaul), pengetahuan alam (Charles Darwin), dan analisis pribadi (psikolog harus punya kecerdasan ini). Dengan demikian, anak sekarang bukan dites IQ, melainkan dites bakat untuk menentukan program studi atau pekerjaan apa yang sebaiknya dia pilih.

Tetapi, itu pun belum menjamin kesuksesan seseorang. Pada 1995,psikolog Daniel Goleman meluncurkan bukunya tentang Emotional Intelligence (kecerdasan emosi). Ia mengatakan bahwa faktor IQ hanya menyumbang sekitar 20% pada kesuksesan seseorang. Sisanya ditentukan oleh berbagai faktor lain,tetapi yang terbesar adalah faktor kecerdasan emosi.

Seorang yang punya KE yang tinggi mampu mengenali dan mengelola emosinya sendiri dan bisa mengenali emosi orang lain untuk menjaga hubungan baik dengan orang lain itu. Hasilnya adalah kepandaian untuk menyesuaikan diri dengan orang lain, kepandaian bergaul, dan sebagainya. Dan inilah yang menyebabkan suksesnya orang tersebut. Teori ini sekarang banyak dianut oleh psikolog,tetapi terkendala dalam soal pengukuran.

Sebagian psikolog mencoba membuat tes EQ (Emotional Quotient), seperti dengan tes IQ.Tetapi pertanyaan- pertanyaannya terbukti sangat terkait dengan budaya tertentu (Amerika Serikat),sehingga tidak valid kalau diterapkan pada bangsa atau suku bangsa lain. Karena itu, istilah EQ tidak terlalu banyak dipakai dan diganti dengan EI (Emotional Intelligence) karena memang emosi,walaupun bisa diamati dan diperiksa, tidak bisa diukur,apalagi diskor dan dihitung hasil baginya.

Hal ini juga berlaku untuk SQ (Spiritual Quotient).Akhirakhir ini memang banyak psikolog yang tertarik untuk mendalami spiritualitas (Zohar & Marshall, 1997; Robert Emmons, 2000), karena kecerdasan spiritual dianggap sebagai intinya kecerdasan, melebihi dari IQ dan EI.Tetapi kritik terhadap SQ juga sangat kencang.

Pertama, definisinya belum baku dan terlalu abstrak (tujuan hidup, makna yang paling dalam, motivasi tertinggi, pencapaian tujuan, dan sebagainya), bahkan seringkali menggunakan konsep yang nonpsikologi, khususnya agama (ruh, kalbu, iman, dan lain-lain), yang pada gilirannya sukar diteliti, diukur, apalagi dihitung hasil baginya.

Bahkan ada yang mengatakan bahwa SQ adalah ilmu semu,bukan psikologi. Tetapi,ilmu semu atau ilmu beneran, buat yang percaya, silakan saja.Asal jangan mengharap ESQ seperti cabe rawit. Sekali digigit langsung pedas. Apalagi kalau sudah membayar sangat mahal.  SARLITO WIRAWAN SARWONO Guru Besar Fakultas Psikologi UI, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar