Berbagi Pengetahuan

Blog ini dibuat sebagai kliping media.

Semoga bermanfaat

Senin, 06 Agustus 2012

Empat Golongan Pelaku Rasionalisasi


PDFPrint
Tuesday, 07 August 2012
Rasionalisasi adalah usaha membenar-benarkan pendapat, argumen, atau posisi diri dengan cara memberi dasar-dasar rasional dan masuk akal, namun sebenarnya palsu atau pembenaranpembenaran logis untuk memenangkan kepentingannya sendiri.


Rasionalisasi ini bersaudara dengan penggunaan akal budi sebagai “alat” (instrumen) untuk membenarkan rasional logis,tetapi untuk benarnya sendiri agar tercapai “udang di balik batu” alias maksud tersembunyi yang mau menyingkirkan lawan atau menangguk keuntungannya sendiri dengan licik lihai seolah logis masuk akal,namun “busuk”bagi lawan kepentingan.

“Udang di balik batu” atau maksud tersembunyi dikenal dalam wacana kita sebagai “pokil”,alias daya akal lihai yang licik yang sering ditokohkan simbol pada Sengkuni, patih penguasa bayangan di Kerajaan Astina. Sengkuni meskipun dituakan sebagai “mahaguru”- nya Pandawa dan Kurawa terutama dalam strategi mahir memanah dan perang,namun ia dengan “pokil” (akal liciknya) memakai posisi guru seniornya untuk seolah-olah tetap ramah pada murid-muridnya Pandawa, namun selaku demi memenangkan kepentingan Kurawa yang ujung-ujungnya memenangkan dan memuaskan hasrat Sengkuni sendiri untuk “berkuasa”.

Kata kunci “pokil” sebenarnya dari kata yang sama asal dalam khazanah bahasa Jawa yaitu “pokal”atau kerja akal cerdik lurus lalu menjadi “pokil” pada saat manipulasi “akal”dan “pokal” itu dibuat secara licik dan lihai menyimpang dari akal sehat biasa, apalagi tidak tanggung- tanggung bersikap tuli dan menutup telinga bagi suara hati. Karena itu, rasionalisasi sebenarnya merupakan penyimpangan pemakaian rasionalitas akal budi di tangan pelaku yang pasti cerdas dan berakal sehat. Maka yang paling sering memakai “rasionalisasi” ada tiga golongan orang.

Golongan pertama, mereka yang pintar lalu “mengakali” atau minteri (Jawa) dengan korban para jelata, yang lugu dan polos jujur. Golongan kedua, mereka yang berkuasa yang tidak tulus mengabdi karena dahulu pencarian kuasa bukan untuk melayani, melainkan untuk posisi kekuasaan yang dicari dengan menghalalkan semua cara. Maka ketika kekuasaan sudah digenggam atau diduduki, ia akan mati-matian mempertahankan dengan tindakan membenar-benarkan posisinya, membenar-benarkan legitimasinya, juga dengan menghalalkan segala cara.

Golongan ketiga, para mahaguru filosof yang sejatinya pencari kebenaran dan kebijaksanaan hidup, namun karena merasa di langit dan merasa diri paling cerdas dan pemegang kebenaran, rasionalisasi menjadi cara pikir dan perilaku mekanisme bela dirinya. Mengapa mereka paling mudah “tergelincir” dari pencinta dan pencari kebenaran menjadi para penggiat rasionalisasi pokil dan licik? Ada dua sebab akibat yang saling berkait untuk menjawabnya.

Sebab pertama, begitu kebijaksanaan dan kebenaran dihayati sebagai kekuasaan, dibelalah ia untuk dirinya dan untuk mereka-mereka yang dalam satu hegemoni pemegang kebenaran berada dengan alasan rasional semisal,lulusan doktor luar negeri harus live in lebih dahulu di negeri ini sebelum mengajar di pasca. Atau lagi, rasionalisasi demi kehidupan alumni dokter-dokter dalam negeri sehingga prioritas untuk rumah-rumah sakit negeri untuk mereka inilah, sedangkan yang dari luar negeri lalu bekerja di rumah-rumah sakit swasta.

Yang terakhir ini diambil contoh proses rasionalisasi sebagai cara berpikir,namun apakah isunya benar? Ini tugas pencari kebenaran fakta. Perdebatan soal rasionalisasi pokil atau licik harus dikembalikan sejernih-jernihnya pada ketulusan distingsi antara kerja ilmu dan filsafat demi pencerahan dan humanisasi dengan kerja-kerja filsuf yang berintrik kekuasaan untuk jegal-menjegal antarsesama pemikir atas nama profesi. Padahal di balik atas nama itulah “kelicikan busuk menyingkirkan sesama” menemukan kenikmatannya sebagai musang serigala yang tampil tak pernah senyum dan tak pernah bahagia di balik kacamatanya meskipun otaknya sampai di lutut.

Apa yang dicari dalam “rasionalisasi” seperti ini? Golongan keempat yang paling menjadi pelaku utama “rasionalisasi” adalah mereka-mereka yang takut turun dari jabatan atau takut kehilangan privilese penikmatan kursi jabatan tinggi entah dari ketua-ketua lembaga pendidikan, otoritas pemda, pemerintah pusat atau anggota-anggota parlemen, serta ketua-ketua parpol atau jabatan-jabatan keketuaan lain. Jabatan-jabatan itu mereka dapatkan bukan karena pilihan tulus dari rakyat jelata, bukan karena keringat kerja profesi dan pelayanan masyarakat, melainkan karena “membeli jabatan itu” dengan uang, materi, relasi-relasi kuasa yang bukan meritokrasi atau jenjang dari bawah sampai puncak dengan karier dan profesionalitas.

Golongan keempat ini paling mudah dilucuti oleh lawan mereka melalui media kritis yang sanggup membedahnya asalkan media itu sendiri “independen”, tidak dikuasai kapital maupun kepentingan politik dan usaha penguasanya. Masih adakah media massa tulis cetak, elektronik, maupun virtual semacam ini di negeri ini? Namun,yang paling mampu secara cerdas dan tercerahkan adalah masyarakat publik rakyat jelata yang belajar membaca rasionalisasi-rasionalisasi yang sama dengan pembohongan-pembohongan itu untuk bersikap dan merdeka melawan mereka dan terbukti di putaran pertama Pilkada DKI dan nanti pasti pula jadi harapan untuk Pemilu 2014.

Mereka rakyat jelata ini sudah kenyang dengan rasionalisasi pokil licik dengan isu SARA, seolah agamais dan “tulus”, namun rakyat banyak tahu dan cerdas menentukan pilihannya untuk yang benar-benar tulus melayani. Akhir kata, seorang mahaguru kehidupan 2000-an tahun lalu ketika situasi zamannya juga penuh kebusukan dan campuran antara madu dan racun telah memberi pedoman sikap dan perilaku menghadapi rasionalisasi- rasionalisasi ini.

Mahaguru dari Nazareth itu menasihati: “Jadilah kalian sekaligus tulus seperti merpati dan cerdik seperti ular!”,maksudnya: tulus seperti merpati sebagai ketulusan nurani motivasi hidup bersama sesama, namun harus ditemani sekaligus dengan kecerdasan budi dan akal yang pintar seperti ular (ular di sini lambang bijak dan cerdas sama seperti lambang apotek dan kedokteran, ular yang serum bisanya untuk membuat orang sakit menjadi sembuh dan sehat kembali).

Terlalu tulus seperti merpati tanpa cerdas akan jadi naif.Namun, terlalu cerdik seperti ular tanpa ketulusan akan jadi tukang- tukang yang tega mengakali sesama untuk kepentingannya sendiri.

MUDJI SUTRISNO SJ 
Guru Besar STF Driyarkara dan Universitas Indonesia; Budayawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar