Berbagi Pengetahuan

Blog ini dibuat sebagai kliping media.

Semoga bermanfaat

Sabtu, 18 Agustus 2012

Lebaran yang Meriah, tapi Tanpa Isi


PDFPrint
Saturday, 18 August 2012
Orang-orang yang berpuasa semata menunaikan kewajiban agama dengan khusyuk dan tulus sesuai seruan Allah, untuk menjadi orang yang takwa,berhak menerima sambutan sebagai para pemenang.


Menangkalah bukan ukuran dalam hidup, melainkan dalam perjuangan menata diri menjadi pribadi yang takwa, sangat istimewa. Perjuangan melawan hawa nafsu yang bergejolak tapi tak tampak,dan tak ada pihak yang bisa memberikan bantuan, membuat kemenangan menjadi luar biasa.Ini kemenangan rohaniah yang membuat sang pemenang menunduk dengan rendah hati.

Bagi mereka yang berpuasa dengan khusyuk dan ikhlas tadi, puasanya merupakan pengabdian dan persembahan pada Allah. Dia tak berharap akan datangnya balasan. Disebutkan,“ puasa ini untuk-Ku.” Maksudnya untuk Allah, dan beda dari semua jenis ibadah yang lain, yang pada hakikatnya untuk manusia sendiri. Apa yang untuk Allah, biarlah seutuhnya untuk Allah.

Ini persembahan kecil, yang mungkin tak penting bagi Allah yang Maha segalanya. Namun,kita yang tak berarti ini telah menyerahkannya dengan ikhlas,semata demi kebutuhan untuk menjadi takwa tadi. Lagi pula, kita tak pernah tahu adakah persembahan kita membuat Allah merasa berkenan di hati. Kita tak pernah tahu persembahan kita diterima atau tidak. Meskipun begitu, kita terus berusaha memberi- Nya persembahan yang sama, tiap tahun.

Puasa telah menjadi praktik kehidupan rohani yang “melembaga”, di dalam diri maupun di dalam masyarakat. Kita mengalami perubahan sosial yang cepat, dan menyangkut banyak segi dalam kehidupan. Mungkin, terutama, perubahan sosial di bidang keagamaan, yang menyangkut urusan puasa. Ibadah tahunan, yang kita laksanakan dengan khusyuk, disertai sikap zuhud, yang mengutamakan rohani, pelan-pelan berubah oleh gerak zaman.

Pelan-pelan kita mengesampingkan hal-hal yang bersifat rohani, dan lebih mengutamakan apa yang tampak gemerlap di dalam masyarakat. Puasa, ibadah khusyuk itu, berubah menjadi begitu meriah. Semua masjid di sekitar kita memancarkan kemeriahan itu.Hidup yang pribadi sifatnya berubah menjadi sifat kolektif. Puasa, yang sifatnya pribadi itu,menjadi komitmen sosial yang kuat.

Masyarakat ikut mengatur.Negara tak mau ketinggalan. Puasa menjadi ibadah massal. Ibadah pribadi, yang khusyuk dan ikhlas itu, tampil sebagai tindakan massal. Masyarakat Islam campur tangan. Dewan masjid campur tangan. Kantor-kantor, swasta ataupun pemerintah, juga campur tangan. Lembagalembaga pemerintahan ikut sibuk menyelenggarakan tarawih dan buka bersama.

Dan, puasa sebagai wujud komitmen pribadi lenyap di balik hiruk-pikuk semangat serbamassal. Sikap khusyuk dan mendalam menjadi suasana meriah. Televisi membikin kemeriahan ini sebagai tontonan, dengan niat meluhurkan kemuliaan bulan suci Ramadan.Tapi yang terjadi, tontonan tetap tontonan dan kesan itu dibiarkan. Di muka bumi ini mungkin hanya di negeri kita, di mana ibadah dan kekhusyukan rohaniah menjadi tontonan.

Tak mengherankan suasana puasa— dan tarawihnya—di berbagai negeri Islam, ditampilkan. Kejadian-kejadian di berbagai tempat yang berhubungan dengan puasa,tampil dalam warta berita, dan menjadi tontonan. Salat tarawih disorot, dan menjadi tontonan. Juga salat Idul Fitri di berbagai masjid dan lapangan terbuka. Pembahasan isi kitab suci, sesuatu yang serius dan mendalam, yang memerlukan keahlian seorang “mufasir” terkemuka, tak bisa berlangsung begitu saja sebagai suatu kajian keilmuan.

Dia harus juga menjadi tontonan umum, dan seperti tafsir Al Misbah, misalnya, tak cukup seorang ahli macam Prof Quraish Shihab. Fenomena rohaniah, yang sudah dijadikan tontonan ini, memerlukan moderator yang bisa membuat unsur rohaniahnya menjadi enak ditonton. Kita tak tahu, dosa apa yang dipikul masyarakat kita, yang menjadikan perkara rohani sebagai tontonan. Mufasir— ahli tafsir—terkemuka dianggap tak bisa tampil sendiri.

Orang terkemuka, yang memiliki otoritas besar di bidang tafsir, boleh muncul di televisi dan baru layak bila didampingi orang yang sebenarnya tak tahu-menahu persoalan kitab. Ini sebuah pelecehan terhadap kemuliaan tafsir kitab, dan pelecehan terhadap penafsirnya. Tokoh dunia ilmu kitabkitab, yang begitu otoritatif, boleh tampil hanya jika didampingi orang yang tak tahu menahu tentang kitab.

Bagi media, tontonan dan kemeriahan lebih penting. Bintang sinetron,penyanyi pemula, dan apa yang disebut “celebrity”, oleh media dianggap lebih penting. Alasannya karena mereka bisa membikin suatu siaran lebih meriah. Ilmu yang mendalam,yang berhubungan dengan puasa dan kehidupan agama, harus kalah dengan kehendak untuk meriah.

Maka berpuasa secara khusyuk dan ikhlas sebagaimana diajarkan Islam, agar kita meresapi jiwa ajaran luhur yang kita junjung tinggi, pelan-pelan tergusur oleh tontonan meriah, yang dangkal dan membosankan. Kehidupan rohani bangsa kita menjadi semakin kering karena kita mengejar apa yang serbameriah tapi kosong, dan menjauhkan kedalaman rohani dari kehidupan sehari-hari kita.

Kita kehilangan hikmah besar, tapi kita tak merasakannya. Kita menjadi begitu sibuk mengubah ibadah suci ini menjadi tontonan meriah. Kita bangga bisa melakukan itu,karena dengan begitu kita merasa modern, maju, dan kita telah memasuki kehidupan serba kosmopolitan. Maka tak mengherankan, dari tahun ke tahun, puas telah kehilangan inti utamanya karena kita lebih mengutamakan tampilan kulit yang meriah daripada isi dengan segenap unsur kedalamannya.

Dari tahun ke tahun, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa puasa telah kehilangan relevansinya, tapi kita menganggap tak ada masalah apapun dalam hidup kita. Puasa kita hanya meriah di luarnya, dan para pejabat, yang juga berpuasa, tak merasa malu melakukan tindakan korup,terus menerus tanpa henti. Lalu, tiap Lebaran mereka menyelenggarakan acara besar, “open house”dengan duit kantor, yang digelapkan secara terang-terangan dan resmi.

Mereka berteriak menyambut kemenangan di hari raya: menang karena berpuasa sebulan penuh,tapi tak menyadari telah kalah total tanpa harapan kemenangan karena puasanya tak mengubah tatanan jiwa,dan tak mengubah tatanan di sekitarnya. Puasa tak mengubah tingkat korupsi. Dan Lebaran yang meriah itu, kita khawatir, jangan-jangan tanpa isi.● MOHAMAD SOBARY Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: dandanggula@hotmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar