Berbagi Pengetahuan

Blog ini dibuat sebagai kliping media.

Semoga bermanfaat

Rabu, 04 April 2012

Sawit, Lingkungan, dan WTO


PDFPrint
Thursday, 05 April 2012
Industri kelapa sawit mendapat tekanan berat dari dua sisi.Dari dalam negeri, tekanan datang dari moratorium penebangan hutan alam dan lahan gambut berkedalaman lebih tiga meter.

Moratorium sebagai bagian skema pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan kerusakan hutan (REDD) untuk meraih hibah USD1 miliar dari Norwegia dinilai menghambat ekspansi. Dari luar negeri, tekanan datang dari LSM dan negara-negara penghasil minyak nabati kompetitor sawit seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa. Bagi mereka, tak hanya mengancam habitat orang utan dan pemusnah biodiversity, sawit juga dituding biang deforestasi dan pemanasan global, dan tidak layak jadi bahan biofuel.

Tekanan terbaru datang dari AS yang mengatur standar bahan bakar dari sumber dapat diperbaharui (Renewable Fuel Standards). Menurut Badan Perlindungan Lingkungan (EPA) AS, biofuel dari kelapa sawit Indonesia tak memenuhi ketentuan keamanan emisi: hanya 17%,jauh dari syarat minimal (25%).Semula Indonesia diberi waktu hingga 27 Februari, kemudian diundur 27 Maret, untuk membantah tudingan EPA. Belakangan, setelah menerima masukan dari Indonesia, EPA mengundurkan kembali tenggat hingga akhir April 2012 (SINDO,27/3). Tak kurang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meradang.Menurut SBY, aturan itu tidak adil. Stakeholders minyak sawit yakin bakal lolos karena hasil riset Indonesia- Eropa, pengurangan emisi sawit mencapai 37–49%.

Kampanye seperti ini bukan hal baru.Dengan alasan sebagai penghasil emisi gas rumah kaca (GRK),Uni Eropa menerbitkan Renewable Energy Directive. Intinya, minyak sawit yang masuk Uni Eropa harus jadi pengurang efek GRK.Dalihnya, untukmenjaminkeberlanjutan industri minyak sawit.Menurut Uni Eropa, keamanan emisi sawit Indonesia hanya 19%, jauh dari syarat minimal (35%). Pada 1980-an, saat industri sawit mulai mekar, American Soybean Association menyeru agar tidak mengonsumsi minyak sawit karena minyak sawit mengandung kolesterol, penyebab sakit jantung.

Belakangan, saat minyak sawit terbukti sehat dan tidak mengandung kolesterol,tudingan berubah: sawit penyebab polusi udara.Lahan sawit dituding mengokupasihutandengancara dibakar.Tidak semua tudingan itu benar.Soal GRK,pembukaan lahan sawit dari hutan alam atau lahan gambut akan mengeluarkan emisi.Pertanyaannya,dari 8 juta hektare areal sawit,berapa yang merambah hutan alam, cagar alam,dan hutan gambut?

Dibandingkan oilseedslain,emisi sawit lebih kecil sebab sawit menyerap karbon dari leaf area indexyangtinggi,efisiensienergi input-output tinggi, dan produktivitas hasil yang juga tinggi (Pehnet and Vietze,2009).Meski sama-sama monokultur, biodiversity sawit lebih baik ketimbang tanaman monokultur di Uni Eropa (World Growth,2009). Renewable Fuel Standards maupun Renewable Energy Directive sebetulnya taktik dagang sebab dasar dan metode perhitungan ditentukan sepihak. Alasan emisi dan kesehatan tidak lebih non-tariff barier.

Karena syarat-syarat serupa tak berlaku bagi minyak pangan kompetitor sawit seperti kedelai, kanola, dan bunga matahari yang diproduksi AS dan Uni Eropa.Taktik dagang juga diberlakukan lewat standar ketat dan sertifikasi salah satunya RSPO (Roundtable Sustainable on Palm Oil). Sertifikasi tidak mengindahkan suara negara berkembang.Tak heran muncul gugatanserius: produkapayang harus disertifikasi dan siapa yang menyusun sertifikasi (Cabarle and Freitas,2007). Kini sertifikasi menjadi ladang bisnis menggiurkan. Pelakunya adalah lembaga-lembaga asing dari negara maju.

Di Inggris saja setidaknya ada 600 jenis sertifikasi,yang sebagian besar diinisiasi oleh korporasi, bukan oleh negara.Bagi Pehnet dan Vietze (2009), tanpa Renewable Energy Directive minyak kanola Uni Eropa tak akan bisa bersaing.Bagi keduanya, Renewable Energy Directive adalah kebijakan industri, bukan kebijakan lingkungan. Ini kamuflase proteksionisme berkedok lingkungan.Aturanaturan seperti itu menabrak prinsip Pasal I, III, dan XI WTO karena telah mendiskriminasi sebuah produk. Indonesia dan Malaysia bisa mengadukan diskriminasi itu ke WTO.

Sekitar 40 tahun lalu kelapa sawit masih merupakan komoditas pinggiran. Saat itu neraca minyak pangan dunia didominasi minyak kedelai, kanola, bunga matahari atau jagung yang diproduksi AS dan Uni Eropa. Kini minyak sawit jadi jawara. Dengan produktivitas 5–13 kali lebih besar dari minyak pangan lain, Indonesia danMalaysia,duajawara minyak sawit dunia, bakal menguasai pasar minyak pangan dunia. Sumbangan sawit terhadap perekonomian cukup besar.Di Malaysia pangsa industri sawit lebih 30% nilai ekspor nasional, sedangkan di Indonesia 5–7%.

Perbedaan ini terjadi karena industri sawit Indonesia jauh tertinggal dari Malaysia, baik dalam produktivitas lahan, kapasitas pabrik pengolah, maupun kelembagaan. Meski pangsanya lebih kecil, pendapatan Indonesia dari sawit cukup tinggi. Pada 2011, dari ekspor CPO 19,3 juta ton, nilainya USD19 miliar dan pajak ekspor Rp25 triliun. Di luar itu saat ini setidaknya 3,2 juta buruh/petani mengais rezeki di kebun sawit.Jika satu keluarga berjumlah empat orang, ada 12,8 juta orang yang nasibnya bergantung pada sawit.

Alasan-alasan inilah yang membuat pemerintah kukuh melakukan ekspansi sawit. Kini sudah diterbitkan izin perkebunan sawit 9,7 juta hektare, 1,8 juta hektare di antaranya belum ditanami. Ekspansi sawit berpeluang diperluas hingga 18 juta hektare (Kompas, 3/12/2009). Masalahnya, ekspansi sawit secara monokultur dalam luasan besar melawan hukum karena tidak sesuai ekologi tropis yang beragam.

Konsekuensinya, alam Indonesia tak cocok untuk mengembangkan tanaman monokultur dalam hamparan luas. Membuka satu juta hektare hutan untuk sawit amat membahayakan ekosistem tropis karena jumlah biodiversity jenis satwa dan tanaman yang hilang sangat tinggi ketimbang kawasan beriklim sedang dan dingin.Pada titik ini ekspansi sawit perlu ditimbang ulang.

KHUDORI 
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014), Penulis Buku ”Ironi Negeri Beras”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar