Berbagi Pengetahuan

Blog ini dibuat sebagai kliping media.

Semoga bermanfaat

Rabu, 16 Mei 2012

Komisi HAM di ASEAN


PDF Print
Wednesday, 16 May 2012
Bagi ASEAN, hak asasi manusia (HAM) merupakan hal penting yang harus ditegakkan mengingat bahwa di masa lampau, sejumlah negara anggota ASEAN telah menjadi saksi kekejaman pelanggaran berat HAM.


Contohnya kasus Khmer Merah di Kamboja,tekanan pada oposisi rezim berkuasa di Myanmar, kekerasan terhadap wartawan di Filipina di masa pemilu,dan bahkan kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan di Indonesia.Memang masih ada setumpuk masalah penegakan HAM yang belum tertangani secara optimal, misalnya terkait kebebasan berpendapat, perlindungan terhadap kelompok minoritas,kekerasan terhadap oposisi dan gerakan masyarakat madani, perlindungan terhadap anak dan perempuan, serta pelaksanaan partisipasi hak politik.

Sejalan dengan berkembangnya kerja sama ekonomi di ASEAN, anggota memandang perlu untuk dibentuk suatu komisi antarpemerintah yang akan menegakkan aturan main penegakan HAM serta rencana aksi yang mendukung perlindungan HAM.Inisiatif ini diangkat hingga ke tingkat menteri dan kepala negara.Puncaknya adalah pembentukan ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR). AICHR terbentuk pada 23 Oktober 2009.Kini lebih dari 2 tahun berlalu, tim khusus dari kelompok LSM di ASEAN yang dimotori Forum Asia mengeluarkan laporan keduanya tentang kinerja bertajuk “AICHR Bekerja dalam Tabir Kerahasiaan”.

Menurut pengamatan mereka, AICHR baru sebatas berwacana dan saling mengutarakan ide-ide mengenai deklarasi HAM di ASEAN. Namun dokumen yang mereka hasilkan, termasuk tanggapan serta poin pembahasan selama kurun waktu 2 tahun tersebut, tidak dapat diakses oleh LSM, apalagi oleh publik. Apakah ini suatu kesia-siaan? Menurut hemat saya tidak, tetapi memang harus ada dorongan yang lebih besar dan kreatif dalam membantu AICHR menjalankan mandatnya.

Mandat AICHR cukup banyak, antara lain untuk (1) mengembangkan strategi pemajuan dan perlindungan HAM serta hak-hak kebebasan yang mendasar untuk melengkapi pengembangan Komunitas ASEAN, (2) mengembangkan deklarasi HAM ASEAN sebagai kerangka kerja sama bidang HAM,(3) meningkatkan kesadaran masyarakat tentang HAM, (4) mendukung peningkatan kapasitas bagi implementasi tanggung jawab penegakan HAM negara-negara anggota, (5) untuk berkonsultasi dengan badan-badan ASEAN lain termasuk LSM dan pemangku kepentingan yang relevan, (6) menyiapkan studistudi tematik tentang HAM di ASEAN, (7) mengembangkan pendekatan dan posisi bersama tentang HAM di ASEAN, (8) mendapatkan informasi-informasi yang mendukung penegakan HAM di ASEAN.

Indonesia adalah tulang punggung inisiatif AICHR ini. Bahkan Indonesia mengaitkan skema AICHR ini dengan kampanye demokratisasi dalam keketuaan Indonesia di ASEAN 2011. Namun ternyata, meskipun lembaganya sudah terbentuk, perubahannya tidak mulus. Tentu tak dapat dimungkiri, seperti kata Marzuki Darusman, mantan Ketua Komnas HAM Indonesia,sejak AICHR berdiri tidak ada pelanggaran berat HAM seperti genosida yang terjadi di kawasan ini.Namun sebenarnya tidak ada alasan untuk menolak laporan kinerja dari tim khusus tadi.

Memang tidak ada terobosan baru soal HAM di ASEAN,semua baru sebataswacanadanpembentukan komisi. Ada sejumlah faktor yang saya amati sebagai penghambat kinerja AICHR yang transparan dan komunikatif dengan publik. Pertama,AICHR ini merupakan lembaga antarpemerintah sehingga komisi ini tidak imun dari politik. Pihak-pihak yang terlibat di AICHR ini mayoritas merupakan diplomat atau tokoh politik senior.Di satu pihak keterlibatan mereka menjembatani hubungan dengan pemerintah negara ASEAN karena dukungan dari tokoh politik tepercaya merupakan dasar untuk mendorong penegakan HAM.

Tapi, di sisi lain, keterlibatan individu-individu ini mengurung AICHR dalam dialog yang sifatnya tidak independen dari agenda pemerintah. Sampai saat ini, pendukung independensi serta transparansi AICHR baru muncul dari sebagian kecil komisioner. Selebihnya cenderungmengedepankan agenda politik negara masing-masing. Kedua, AICHR baru pada tahapan “diplomasi” di mana tabu bila pertentangan pendapat dibuka kepada publik. Itulah yang dinamakan “ASEAN Way” alias cara ASEAN dalam menyelesaikan masalah.Yang dijaga dalam tahapan ini adalah komunikasi yang konsisten dan harga diri pemimpin negara.

Ketiga, AICHR didirikan atas sejumlah pertimbangan yang tidak seluruhnya mengarah pada perbaikan penegakan HAM di kawasan ASEAN. Pada waktu AICHR disepakati, ASEAN sedang didesak untuk dapat merespons perkembangan masa, baik dari segi politik maupun ekonomi. Cara lama ASEAN yang serbainformal mulai dilengkapi dengan pembentukan lembaga-lembaga pendorongkesepakatan ASEAN. Ini sejalan dengan Piagam ASEAN yang menginginkan pelembagaan ASEAN yang lebih kuat. Namun pelembagaan ini tentu tidak tanpa konsekuensi karena mengurus lembaga itu rumit dan memakan tenaga.

Menurut informasi yang dapat diandalkan,para komisioner di dalam AICHR tidak semuanya saling sepakat akan cara mencapai tujuan AICHR.Sebagian dari mereka sangat dominan dalam pandangannya sehingga dialog kerap tidak berkembang. Selain itu, ketika bicara soal kelembagaan, muncul pula perdebatan soal wewenang dan tanggung jawab koordinasi yang ternyata juga belum sepenuhnya disepakati di dalam tubuh AICHR. Keempat,AICHR lahir di tengah desakan untuk mempersatukan ASEAN menuju Komunitas ASEAN.

Artinya agenda penegakan HAM tak bisa lepas dari agenda pertumbuhan ekonomi. Meskipun negara-negara ASEAN punya rangkaian kerja sama ekonomi,sebenarnya rasa kompetisi di antara mereka tinggi. Ketika tiap negara ASEAN berada di forum di luar ASEAN,kebersamaan mereka di ASEAN seakan sirna saja. Kompetisi ekonomi ini yang mengaburkan kesatuan makna HAM bagi negara ASEAN. ASEAN sesungguhnya belum sepaham dalam hal peranan negara dalam pertumbuhan ekonomi.

Kebetulan sekali sejumlah negara yang juga dianggap melakukan pelanggaran HAM berat justru merupakan negara-negara yang memilih sentralitas negara dalam pengambilan kebijakan ekonomi. Akibatnya, hak individu kerap dikorbankan demi tatanan sosial politik dan ekonomi yang lebih stabil. Selain itu,HAM sendiri sulit dimaknai dalam arti yang sama karena kata “demokrasi” dimaknai berbeda-beda dalam realitas politik di negara-negara anggota ASEAN.

Demokrasi yang dipraktikkan negaranegara ASEAN belum sepenuhnya mengarah pada satu napas akan hak individu, kebebasan politik bagi mereka,serta penegakan hukum atas hak-hak individu dalam memilih dan berpendapat. Bahkan masih ada pertentangan hak individu dengan hak komunitas.Pemajuan hak individu dikhawatirkan mengganggu tatanan sosial. Inilah tugas berat dari AICHR yang sesungguhnya. Di sini peranan Indonesia dalam mendorong AICHR perlu disegarkan lagi. Selama ini Indonesia belum sepenuhnya memanfaatkan jejaring masyarakat madani pendukung HAM yang tersebar jumlah dan kegiatannya di Indonesia dan bahkan di sejumlah negara ASEAN.

Jejaring dengan mereka diperlukan untuk mendesakkan terus ide penegakan HAM dalam makna yang tunggal. Meskipun AICHR secara umum masih bergumul dengan kesulitan lembaga, komisioner dan LSM dari Indonesia perlu terus mendorong terbangunnya jaring komunikasi informal antarmereka. Hal ini penting agar para diplomat yang ada di AICHR tidak terjebak dalam rutinitas berdiplomasi, tetapi punya energi yang selalu baru dari masyarakat madani yang selama ini memperjuangkan penegakan HAM. ●

DINNA WISNU PHD
Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi Universitas Paramadina
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/495249/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar