Berbagi Pengetahuan

Blog ini dibuat sebagai kliping media.

Semoga bermanfaat

Jumat, 13 Januari 2012

Diplomasi dan Peradaban

Saturday, 14 January 2012
Apa sulitnya menjadi diplomat bagi negara seperti Indonesia? Secara umum tentu menjadi diplomat andal bukanlah hal mudah, apalagi jika negaranya sebesar Indonesia (populasi, potensi pasar, posisi geostrategis, peluang kerja sama) dan kondisi umum hubungan antarnegaranya rumit.


Kali ini saya ingin menyoroti faktor peradaban dan dampaknya bagi diplomasi. Peradaban lekat citranya dengan kemajuan intelektual, budaya, teknologi sekaligus juga kelembagaan dan model interaksi antarindividu yang hidup dalam sistem sosial ekonomi maupun politik di situ.Kemajuan di sini diukur dengan suatu perasaan, segala sesuatunya nyaman, mudah untuk diakses atau dipergunakan, serta punya gaya hidup yang lebih tinggi alias seleranya pun berkelas. Dalam sejarah, peradaban tidaklah tunggal. Negara-negara dunia bebas saja mengembangkan model peradaban tertentu. Negara lainlah yang kemudian menjadi penilai tinggi rendahnya peradaban suatu bangsa.

Di sisi lain, meskipun tak tertulis secara eksplisit dalam aturan hubungan internasional mana pun, peradaban sebenarnya merupakan komponen penting yang menentukan daya tawar suatu negara di hadapan negara lain. Negaranegara berkelompok mencari dan saling mengidentifikasi negara lain yang punya kepentingan sama dan (jangan lupa) ada di tataran peradaban yang sama pula.Mereka saling kunjung untuk merasakan tingkat kenyamanan hidup, gaya hidup, serta model interaksi masyarakat setempat.

Karena pemahaman yang demikian tentang peradaban, perubahan dalam peradaban suatu bangsa kerap diukur dari tingkat modernisasi, perkembangan sosial ekonomi, dan sistem politiknya. Indonesia sedang mendapatkan perhatian khusus dari dunia karena perubahan dalam faktor-faktor tersebut.Wajar jika kemudian para diplomat negara lain kemudian ”mengukur” di manakah sekarang ”posisi” Indonesia yang sesungguhnya? Dari segi pendapatan per kapita, Indonesia sudah melewati batas psikologis USD3.000. Artinya, rata-rata orang Indonesia sudah tidak lagi dibatasi urusan mengisi perut semata.Kelas menengah bertambah pesat jumlahnya.

Mereka adalah penggerak perekonomian dan politik yang andal karena daya beli, selera, pendidikan, dan kesadaran politik yang relatif lebih baik daripada kelas menengah ke bawah. Untuk kerja sama dengan lembaga keuangan internasional, Indonesia sudah masuk dalam kategori negara berpendapatan menengah. Artinya tak perlu ada skema pinjaman lunak untuk sejumlah kegiatan ekonomi dan sosial. Daya bayar utang luar negeri juga membaik. Itu sebabnya peringkat Indonesia meningkat, masuk level investment grade.

Lembaga pemeringkat investasi dunia memberikan dorongan bagi negara-negara lain untuk berinvestasi di Indonesia dengan menaikkan status dari BB+ ke BBB-. Singkatnya, masyarakat di Indonesia sedang berubah. Apakah peradaban di Indonesia berubah pula sesuai dengan kenaikan peringkat ekonomi sosial politik selama satu dekade terakhir ini? Di satu sisi ada cerita-cerita positif seputar inovasi kaum muda di bidang teknologi, seni budaya, bahkan juga kewirausahaan. Pebisnis mikro sekalipun sudah bisa merambah pasar-pasar di negara tetangga. Hal-hal ini yang selama ini menunjang citra positif Indonesia. Namun ada pula sisi kelam yang menyeruak.

Misalnya kasus bentrokan fisik berujung pembunuhan keji di Mesuji, kekerasan di Bima, penembakan misterius di Aceh, tawuran-tawuran di Sulawesi, panasnya situasi di Papua dan Maluku yang tak kunjung usai, perusakan tempat-tempat ibadah dan kekerasan terhadap umat beriman, bahkan kekerasan yang mengikuti pilkada di sejumlah daerah bukanlah cerita asing. Ada apa dengan bangsa ini sehingga ketidaksepakatan terhadap sesuatu cenderung berujung baku hantam, konflik terbuka, kekerasan, dan kematian?

Di antara negara-negara yang beradab, cara mencari solusi semacam ini tergolong rendah dalam kategori peradaban. Apalagi bentrokan yang terjadi selalu bersifat fisik, dengan alat-alat seadanya, melibatkan komponen represi, dan bisa dikatakan keji. Dalam standar perilaku dan hak internasional, berarti perbaikan sosial ekonomi di Indonesia belum diikuti dengan pemenuhan hak-hak ekonomi,sosial,bahkan politik yang memadai bagi anggota masyarakatnya.

Samuel Huntington, profesor ilmu politik kenamaan dari Amerika Serikat, pernah menyatakan dalam bukunya Political Order in Changing Societies (1968) bahwa masyarakat yang beranjak modern kerap kali tidak cukup diwadahi dengan pengorganisasian politik sehingga tatanan politik menjadi kacau dan akibatnya muncul pembusukan tata kelola pemerintahan dari dalam. Bagi Huntington, tak masalah apa bentuk pemerintahan yang dipilih dan siapa memegang wewenang apa dalam suatu negara, tetapi apakah pemerintahan yang terbentuk bisa mengelola warganya? Apakah masyarakat kita membentuk pemerintahan yang punya daya perintah?

Di sinilah lagi-lagi,menurut hemat saya,isu peradaban muncul. Huntington menjelaskan, dalam sistem politik yang maju, kelembagaan politik maupun sosial yang terbentuk tidak bisa semata refleksi dari kepentingan kelompok-kelompok di suatu wilayah. Justru yang harus dibangun adalah bagaimana aturan-aturan yang terbentuk merupakan agregasi atau pengolahan dari semuakepentingan yang ada di suatu wilayah. Dalam sistem sosial politik yang maju, kewenangan suatu lembaga pemerintahan bukan melekat karena dipaksakan. Kewenangan muncul ketika ada mekanisme yang membatasi dan memoderasi dampak dari kelompok-kelompok baru yang muncul.

Ada dorongan penyesuaian perilaku dari kelompok-kelompok baru yang muncul. Orientasi kelompok- kelompok baru ini juga bukanlah agresi dan militan, tapi mengupayakan kelanggengan aspek-aspek positif yang selama ini sudah berkembang dalam hubungan antarkelompok di negeri itu. Di tataran pergaulan dunia, ada sejumlah standar perilaku yang sudah diakui.Standar tersebut ikut membentuk reaksi negara-negara lain terhadap suatu bangsa. Salah satu standar tertua adalah perlindungan terhadap hak asasi manusia, mulai dari hak hidup dan dilindungi oleh pemerintahnya sampai hak hidup layak dan peluang untuk mengembangkan kualitas hidup.

Partisipasi politik pun tak boleh dikekang. Standar-standar ini berkembang pesat menjadi norma perlindungan hak perempuan, anak, pekerja. Kini keserasian kegiatan manusia dengan lingkungan hidupnya pun ada standar perilakunya. Ada definisi kebijakan green, green jobs,social protection floor yang berkembang di mana kegiatan ekonomi harus ramah lingkungan sambil menjamin kelayakan pekerjaan bagi manusia.

Apakah kita bisa merengek di meja perundingan bahwa belum saatnya Indonesia dikenai standar-standar perilaku seperti disebut tadi? Boleh saja, tapi di mana mau ditaruh muka para diplomat bangsa ini bila ke mana-mana kita mengiba untuk diberi pengecualian? Apalagi bila pengecualian tersebut tanpa kemajuan berarti dalam hal kemampuan kelompok berkuasa dan mayoritas menciptakan kedamaian dan peningkatan kualitas hidup bagi semua warga negara. Suka ataupun tidak,euforia perkembangan ekonomi di Indonesia akan menjadi medium pengukur kemajuan peradaban bangsa ini.

Ini tanggung jawab kita bersama sebagai suatu peradaban. Pemerintah pun harus andal dalam menyusun kebijakan agar peradaban bangsa ini bisa berkembang baik. Pada akhirnya ukuran tersebut akan menentukan jati diri bangsa dalam perundingan-perundingan internasional. 

DINNA WISNU
Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/460370/
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar