Berbagi Pengetahuan

Blog ini dibuat sebagai kliping media.

Semoga bermanfaat

Rabu, 04 Januari 2012

Fokus Ngebut Kejar Mimpi Bikin Mobnas


PRIA itu biasa-biasa saja, tidak ada yang berbeda dari kebanyakan mahasiswa lainnya di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Dia bukan keturunan bangsawan, orang kaya atau borju. Sebaliknya, ayahnya hanya pegawai negeri sipil, dan ibunya guru SMK.

Namun, dibalik kesederhanaanya, Eko Hardianto mahasiswa fakultas teknik mesin ini memiliki cita-cita tinggi. Semangatnya luar biasa. Dari tangannya lahir sejumlah karya brilian. 

Indonesia boleh berbangga. Siapa sangka Eko yang berada di garda depan sukses membawa Tim Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya meraih juara dalam Shell Eco Marathon Asia di Malaysia, enam bulan lalu. Ini untuk kali kedua mereka juara.

Tidak mudah tentunya, apalagi, tim ITS Mesin dengan kendaraan super hemat energi bernama mobil ‘sapu angin’, harus bersaing dengan 14 negara lainnya yang tak kalah canggih. Bertanding, di Sirkuit Sepang, Kuala Lumpur Malaysia pada Juli 2011. Anak muda itu harumkan nama bangsa.

Tim ITS ditetapkan sebagai juara utama dalam kelas "alternative diesel fuel urban concept" karena menggunakan bahan bakar FAME (Fatty Acid Methyl Ester) alias biodiesel. Kata Rektor ITS Triyogo Yuwono, bahan bakarnya biodisel, karena lebih ramah lingkungan. 

Berbekal dari ‘sapu angin’, Eko bersama dua desainer lainnya bersiap menggarap mobil lainnya. Tentu jauh lebih maju dan bermanfaat bagi masyarakat luas. 

“Seri kedua ini, kami namakan mobil ‘sapu jagad’," katanya saat berbincang denganokezone di rumah kontrakannya di jalan Mleto, Surabaya.

Untuk mobil ‘sapu jagad’ ini memang sengaja dirancang untuk diproduksi secara massal dan berbeda dengan ‘sapu angin’ yang memang didesain lebih ringan karena bertujuan untuk keiritan. 

Mobil ‘sapu jagad’ yang berkapasitas 200 cc ini sedianya akan menjadi solusi kemacetan di Jakarta dan Surabaya, dan inilah cikal bakal industri mobil Indonesia. “Seperti itulah impian kami,” ujarnya berharap.

Namun, untuk mewujudkan itu, dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Mencapai Rp35juta-Rp50juta. “Tapi, jumlah tersebut bisa ditekan jika mobil ini diproduksi secara massal," tukasnya.

Sponsor

Impian Eko dan kawan-kawan menciptakan mobil produksi dalam negeri secara massal bisa saja terwujud, asalkan mendapat dukungan, terutama pendanaan.

Padahal, sejumlah desain berhasil diciptakan. Kembali lagi, Eko harus terbentur dengan biaya. Berbagai upaya seperti mencari sponsor pernah dilakoninya, salah satunya mengajukan dana ke pemerintah kota Surabaya, tapi hasilnya nol. 

"Kami masih terus mencari sponsor untuk mobil sapu jagad. Pernah mengajukan dana ke Pemkot Surabaya tapi sampai hari ini belum ada jawaban," sesalnya.

Seharusnya, bila didukung dengan anggaran yang tersedia, ada harapan ‘sapu jagad’ bisa memproduksi mobil yang nantinya bisa menjadi alat transportasi utama, khusus para pedagang. Selain murah, kuat juga irit bahan bakar.

Memang, diakui Eko, sejauh ini hanya isapan jempol belaka. Bahkan, beberapa waktu usai lomba di Malaysia sempat ada tawaran dari pihak Kementerian. “Sayangnya, tawaran tersebut belum terealisasi hingga saat ini,” ujarnya.

Pasar Indonesia

Bila melihat geliat industri otomotif nasional memang kurang bergairah. Apalagi, serbuan mobil-mobil luar negeri tengah gencar, pemerintah masih kurang menaruh perhatian untuk mobnas. 

Padahal, Indonesia memiliki pasar yang cukup terbuka lebar untuk produk-produk otomotif besutan dalam negeri. Tak hanya itu, masalah sumber daya manusia (SDM) dalam negeri cukup melimpah. Ini dibuktikan Tim dari ITS Surabaya berhasil menjuarai kompetisi bergengsi di dunia otomotif dalam Shell Eco Marathon di Malaysia. 

Bicara pasar, yang menjadi persoalan apakah pasar menerima merk sendiri. Apalagi, masyarakat lebih bangga menggunakan mobil produksi luar negeri. Padahal dengan membeli mobil luar negeri sama halnya menguntungkan produsen di negera lain. 

Misalanya, dalam produksi mobil Toyota Avanza oleh Principle Enginer ditekan biaya produksi sekira Rp60 Juta dan kenyataannya Mobil Toyota Avanza dijual dengan harga Rp130 jutaan. 

Masalah kebijakan pemerintah juga jadi soal. Pemerintah harus berani membatasi produksi mobil luar negeri, dan  beralih ke industri mobil nasional yang serius. Baik dari segi desain, kenyamanan serta kapasitas mobil juga harus diperhatikan.

"Saya kira kita mampu kok. Dengan begitu kalau tidak ada mobil luar negeri, orang Indonesia harus membeli mobil dalam negeri," kata Mahasiswa semester 9 ini. 

Malaysia dengan Protonnya bisa dicontoh, dukungan melalui kebijakan pemerintah Malaysia dengan mengeluarkan pajak kendaraan luar negeri jauh lebih mahal. Namun, untuk mobil dalam negeri pajaknya sengaja dibuat murah. "Masak seperti itu Indonesia tidak bisa," cetus putra pertama pasangan Tanto Primodianto dan Hartatik Retno Wulandari ini.

Sementara soal kualitas SDM, tentunya Indoensia tidak kalah dengan Malaysia. Banyak beberapa dosen-dosen di negeri Jiran itu berasal dari Indonesia. Dan diperkirakan banyak orang Indonesia yang terlibat dalam industri mobil Proton itu. 

Tak ketinggalan, Mahasiswa Indonesia jauh lebih unggul. Saat di ajang SEM 2011 itu Malaysia hanya mendapatkan juara di bidang kelistrikan melalui teknologi UTS. Itupun, katanya, yang bekerja bukan dari Mahasiswa Malaysia asli melainkan Mahasiswa asal Jerman hasil program pertukaran pelajar. Beberapa, mahasiswa asli Malaysia hanya terlibat saja. "saya tahu karena memang Pit-nya Malaysia berada di samping Pit-kami," tuturnya.

Kedepan, Eko yakin anak-anak muda Indonesia masih ada potensi. Asalkan pemerintah juga mendukung. Eko yakin rasa nasionalisme masyarakat indonesia masih ada hanya saja masih memmbutuhkan sentuhan-sentuhan lagi. 

Kenal Otomotif di Kampus 

Eko yang dipercaya sebagai ketua tim saat berlaga di Malaysia, ternyata baru mengenal otomotif sejak di bangku kuliah. Awalnya, dia bukanlah penghobby otomotif. Tapi, siapa sangka Eko sukses membawa timnya juara utama di ajang internasional itu.

"Ya mulai masuk sebagai mahasiswa baru ini saya berkenalan dengan bengkel yang ada di kampus. Sebelumnya memang tidak pernah bersinggungan. Jangankan membongkar sepeda yang namanya seker (piston) saja saya tidak tahu," kata mahasiswa yang akrab disapa Eko ketiks ditemui okezone di rumah kontrakkan mahasiswa di jalan Mleto, Surabaya.

Ia menceritakan, sedikitpun tidak ada latar belakang sebagai 'orang otomotif'. Bahkan darah yang mengalir di tubuhnya pun tidak ada yang berbau otomotif. Ayahnya PNS di Banyuwangi, ibunya guru SMK. 

Sering diskusi dengan beberapa orang di bengkel kampus, akhirnya timbul kecintaan terhadap otomotif. "Ada yang nyelutuk, masak anak mesin nggak bisa bongkar sepeda motor. Ini yang justru jadi motivasi saya," jelasnya.

Hingga akhirnya, Eko dipercaya sebagai Ketua Devisi Roda Dua di bengkel itu. Berangkat dari situ muncul beragam ide dan semakin banyak bereksperimen. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar