Berbagi Pengetahuan

Blog ini dibuat sebagai kliping media.

Semoga bermanfaat

Sabtu, 28 Januari 2012

Penetrasi Pilkada

Saturday, 28 January 2012 Melalui rubrik ini, saya pernah menulis kesaksian seorang ibu guru, sebutlah Sriyati. Dia memberi kesaksian sambil menangis di depan sidang Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa dirinya dipindahkan sampai sejauh 200 kilometer dari tempat tugasnya semula karena tidak mau mendukung seorang bupati yang mencalonkan diri lagi (incumbent, petahana) pada pilkada.

Baik dia maupun suaminya semula sama-sama bekerja di ibu kota suatu kabupaten. Sekarang hanya dua minggu sekali, bahkan kadangkala sampai sebulan, dia baru berkumpul dengan suami dan anak-anaknya karena tempatnya menjadi sangat berjauhan.Dia maupun suaminya tidak mau berhenti dari pekerjaannya karena pekerjaan itulah sumber penghidupan sekaligus kebanggaan mereka.

Saat berkunjung ke suatu daerah beberapa waktu lalu, saya dilapori oleh seorang bekas teman kuliah yang bercerita bahwa dirinya didemosi dari jabatan struktural karena dianggap sebagai pendukung kepala daerah yang kalah dalam pilkada.Dia dicopot dari jabatan strukturalnya, dipindah ke desa oleh kepala daerah yang terpilih. Pilkada kerapkali menyebabkan terjadinya penetrasi politik terhadap birokrasi di daerah.

Pegawai negeri sipil (PNS) yang seharusnya netral dihadapkan pada situasi yang sangat sulit karena sering dihadapkan pada dukung-mendukung. Mendagri pernah menegur satu pemerintah provinsi karena melakukan mutasi dan demosi terhadap lebih dari 130 orang PNS tanpa prosedur dan alasan yang sesuai peraturan perundang-undangan.

Menurut media massa,mutasi dan demosi itu terkait rekayasa dukungan dalam pilkada sehingga Kemendagri turun tangan. Banyak PNS itu menjadi korban karena pilkada. Jika bersikap netral dan menyatakan tidak mau ikut-ikut,si PNS bisa dikucilkan. Jika mendukung petahana yang kemudian ternyata kalah,PNS itu bisa ditendang oleh yang menang. Jika mendukung calon baru yang ternyata tak bisa mengalahkan petahana, sang PNS dilempar oleh petahana itu.

Dalam banyak kasus, pilkada memang telah menimbulkan berbagai masalah sosial, politik, dan hukum di beberapa daerah yang upaya penyembuhannya memerlukan waktu lama. Syahwat berkuasa yang tak terkendali menyebabkan terjadi berbagai kecurangan yang melampau batas.Selain tindakan sewenang-wenang terhadap PNS dan penetrasi politik terhadap birokrasi, pengaduan yang banyak dimajukan ke persidangan MK juga penggunaan dana negara (daerah) secara haram oleh petahana atau oleh calon yang mempunyai akses ke birokrasi di daerah.

Banyak petahana yang memanipulasi dana negara (daerah) untuk meraih kemenangan dengan berbagai cara yang sangat kotor. Sebagai akibat dari penyalahgunaan dana negara itu, menurut pejabat Kemendagri Djohermasyah Djohan, saat ini tidak kurang dari 167 kepala daerah yang terangkut masalah korupsi dengan status terpidana dan tersangka, belum termasuk begitu banyak yang sedang terselidik atau terlapor.

Belum lagi munculnya polarisasi atau pembelahan sosial di tengah-tengah masyarakat serta kebiasaan menunggu uang “pembelian suara”di kalangan rakyat. Berdasar catatan perkara yang masuk ke MK belakangan ini kecurangan dalam pilkada bukan hanya dilakukan pasangan calon, melainkan juga dilakukan penyelenggara dan pengawas pemilu seperti KPU provinsi/kabupaten/kota dan panwalu di beberapa daerah.

Tidak sedikit komisioner KPU dan panwaslu daerah yang digelandang ke pengadilan pidana atau dijatuhi sanksi oleh dewan kehormatan institusinya masing-masing. Di Sumatera ada KPU kabupaten yang membuat syarat pemeriksaan kesehatan yang ganjil, sekurang-kurangnya tidak sama dengan pedoman standar yang diterapkan di daerahdaerah lain.

Yakni menentukan tempat pemeriksaan di Jakarta dengan spesifikasi pemeriksaan yang dibuat sendiri yang tak mungkin bisa dipenuhi calon tertentu, padahal sebenarnya spesifikasi tersebut tidak diharuskan oleh peraturan perundang- undangan. Meskipun sang calon kemudian menggugat dan menang dalam sengketa di PTUN, tetap saja KPU kabupaten tersebut tidak menyertakan sang calon dengan alasan putusan PTUN masih akan dibanding dan dikasasi.

Sering juga KPU daerah mencoret calon yang memenuhi syarat dengan berbagai alasan.Ada juga yang meloloskan calon yang tidak memenuhi syarat dengan maksud memecah suara calon yang potensial menang. Ketika ada hasil survei bahwa calon B akan mengalahkan calon A, calon A meminta kepada KPU daerah untuk meloloskan C agar suara pendukung B pecah dan A menjadi menang.

Ada juga KPU daerah yang meloloskan calon perseorangan dengan fotokopi kartu tanda penduduk (KTP) pendukung yang tidak diberikan sendiri oleh pemiliknya, tapi diambil dari kelengkapan dokumen nasabah- nasabah bank. Pemilik KTP tidak pernah memberi dukungan, tetapi tanda tangan palsu dan fotokopi KTP-nya terlampir sebagai pendukung satu pasangan calon.Fotokopi KTP-KTP itu diperoleh dari bank tertentu melalui kolusi.

Ada pemikiran, sebaiknya pilkada itu dikembalikan kepada DPRD agar daya merusaknya tak semakin meluas.Tetapi, ini pun masih dipersoalkan sebab menurut Budiman Tanuredjo berdasar hasil survei harian Kompas, saat ini lebih dari 70% warga masyarakat masih menghendaki pilkada langsung. Adalah tugas DPR dan pemerintah untuk mendiskusikannya secara matang senyampang saat ini sedang digodok rancangan undang-undang tentang pilkada. 

MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi 
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/464376/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar