Berbagi Pengetahuan

Blog ini dibuat sebagai kliping media.

Semoga bermanfaat

Sabtu, 21 Januari 2012

Jalan Pintas (Sindroma Mak Erot)

Sunday, 22 January 2012
Denger-denger, 1,2 juta PNS akan disuruh ikut pelatihan ESQ (emotional & spiritual quotient) oleh Menpan. Sebelumnya, saya dengar juga mahasiswa UI sudah disuruh ikut ESQ.

Alasannya, untuk menjadi pemimpin bukan hanya dibutuhkan peraturan dan perundangan serta sistem yang baik, tetapi terutama diperlukan SDM yang berkualitas dan bermoral tinggi. Luar biasa.Seandainya anggapan itu benar, bisa disarankan ESQ untuk semua: DPR, DPRD,hakim,polisi,KPK,dan seterusnya. Dijamin dalam waktu singkat kita bisa mencapai Indonesia yang maju, sejahtera, dan bebas dari korupsi karena SDM yang berkualitas dan bermoral tinggi bisa diciptakan terhadap siapa saja, di mana saja,kapan saja (asal ada anggarannya) dalam waktu 2 hari pelatihan saja.

*** Saya sendiri belum pernah mengikuti ESQ dan belum pernah menelitinya. Karena itu saya browsing di internet. Karena kepakaran saya hanya dalam bidang psikologi, tentu saja pertama kali yang saya cari adalah literatur-literatur psikologi. Khususnya dari Amerika (American Psychological Association/APA), yang dianggap paling maju dalam penelitian psikologi sedunia. Pertama sekali saya cek dalam Glosary of Psychological Terms (From Gerrig,Richard J.& Philip G. Zimbardo, 2002).

Ternyata di situ tidak ada sama sekali kata “spiritual”, “spiritual intelligence”, maupun“spiritual quotient”. Jadi saya cari ke publikasipublikasi lain dari APA.Dalam beberapa detik keluar beberapa judul, semuanya buku, atau chapter dari buku, atau manual, tidak muncul satu pun dari jurnal (di lingkungan akademis, jurnal adalah yang tertinggi nilai akademisnya).Tapi dari publikasi-publikasi itu tidak ada yang mengenai “spiritual intelligence”, maupun “spiritual quotient”.

Apalagi penelitian mengenai hasil pelatihan ESQ (spiritual dicampur dengan emotional). Yang ada hanyalah pembahasan seputar filsafat (Gerald J. Gargiulo, 2005, Psyche, Self and Soul), konseling dan terapi (Richards, P. Scott, 2006, The Need for a Theistic Spiritual Strategy), dan manual tentang golongan minoritas di AS (Commission on Ethnic Minority, APA, 2003, Toward an Inclusive Psychology).

Karena tidak ada di literatur Barat (baca: AS), saya menduga tentunya ESQ adalah salah satu bentuk psikologi Timur atau asli bangsa Indonesia atau yang dalam bahasa Inggrisnya disebut indigenous psychology. Saya menyebutnya “psikologi ulayat” (meminjam istilah hukum adat). Maka saya pindah browsing ke Google, yaitu website yang berisi segala macam hal, dari gosip, klenik, semi-ilmiah sampai yang ilmu murni. Saya masukkan kata kunci “ESQ”. Jawabannya langsung banyak.

Tapi kontroversial.Di satu pihak tentu saja ada situs-situs resmi yang berisi kesaksiankesaksian mereka yang mengakui kehebatan teknik ESQ ini dan betapa dahsyatnya pengaruh pada kepribadian mereka setelah mengikuti program pelatihan ESQ ini. Di sisi lain, banyak yang kurang senang dan mengkritik. Bahkan majelis ulama salah satu negara bagian Malaysia (kalau tidak salah Selangor) mengeluarkan fatwa bahwa ESQ adalah ajaran sesat, yang sudah barang tentu dibantah oleh pihak ESQ.

Saya tidak mau pusing dengan polemik urusan ESQ.Tapi saya penasaran,jadi saya tanya melalui Twitter saya tentang ESQ ini.Ada beberapa jawaban masuk, tetapi tidak ada yang positif. Salah satu jawaban misalnya menyatakan,“Bagus untuk beberapa hari, tetapi sesudah itu balik lagi,” atau yang lain, “Seperti siraman khotbah Jumat saja, Prof. Sesudah Jumatan ya sudah,” atau yang ini,“Kayak yang Prof gakpernah ngertiproyek aja.”

*** Bukan maksud saya untuk berdebat tentang ESQ di sini. Konon alumninya sudah 1,2 juta orang.Pasti sudah banyak yang merasakan manfaatnya (terbukti dari kesaksian di internet). Ilmiah atau tidak, psikologi atau bukan, kalau bermanfaat apa salahnya? Bayar mahal? Gak masalah sepanjang ada dananya,bukan? Namun kalau sudah jadi kebijakan publik (PNS atau mahasiswa wajib ikut, banyak dana digelontorkan), nanti dulu.

Apa pun kalau akan menjadi kebijakan publik harus ditimbang masak-masak antara manfaat dan mudaratnya. Salah satu pertimbangan utama adalah pertimbangan ilmiah karena ilmu relatif paling objektif. Saya berpendapat bahwa pertimbangan ilmiah ini sangat penting karena belakangan ini makin banyak orang Indonesia yang terkena penyakit “mentalitas jalan pintas”. Segala sesuatu ingin diperoleh cepat-cepat dan dengan usaha sekecil mungkin.Proses tidak perlu, yang penting hasil.

Karena itulah orang Indonesia mudah sekali ditipu dengan arisan yang bisa menggandakan uang atau dukun Mbah Suro yang bisa menyembuhkan orang sakit, mendatangkan jodoh atau kekayaan (padahal si mbah sendiri tetap miskin), iming-iming hadiah mobil mewah dari bank yang baru muncul kemarin sore, cepat pandai dengan pelatihan otak tengah, dsb.

Orang Indonesia juga percaya pada ijazah palsu, travelers cheque (untuk memenangi pos Deputi BI), bakar rumah bupati (supaya bupati tidak jadi dilantik oleh Mendagri), blokir jalan tol,dsb. Semuanya agar bisa memperoleh hasil dengan cepat, tanpa usaha yang kelewat susah. Saya namakan ini “sindroma Mak Erot”. Rasanya sejak zaman saya masih kuliah, saya sudah mendengar tentang Mak Erot yang konon bisa membesarkan penis dengan air, buluh bambu, lemang, dan doa.

Sampai hari ini, saya belum pernah mendengar kesaksian akan keberhasilan metode Mak Erot.Yang mengaku tertipu pernah saya jumpai di salah satu situs.Tapi percaya atau tidak,teknik Mak Erot ini masih dipercaya orang sampai sekarang.Walaupun Mak Erot sudah tidak ada lagi,anak cucunya masih meneruskan praktiknya. Pendek kata, kalau LSI mengadakan survei, “Siapa yang lebih dipercaya masyarakat, SBY atau Mak Erot,” hasilnya pasti: SBY kurang dari 40%,Mak Erot di atas 60%, Sudah barang tentu, proses apa pun bisa dipersingkat.

Taruna militer dididik sikap militer hanya dalam waktu 4 bulan, teknik modern membaca Alquran bisa membuat buta huruf jadi melek huruf Alquran hanya dalam dua hari, dan memasak kari kambing bisa direduksi dari dua hari (cara tradisional versi ibu-ibu) ke dalam beberapa menit saja (menggunakan saset kari kambing yang bisa dibeli di supermarket), dan mengolah data penelitian yang jika dilakukan secara manual makan waktu berbulan-bulan, dengan sebuah note book bisa dilakukan dalam beberapa menit.

Tapi semua yang mempersingkat sebetulnya hanyalah mempercepat prosesnya dan sama sekali tidak meninggalkan atau melangkahi sebagian, apalagi semua proses. Jadi membuat PNS pandai dan bermoral dalam waktu 1–2 hari saja, dengan teknik apa pun, rasanya tidak mungkin, walaupun dilakukan oleh seorang tukang sulap setingkat Deddy Corbuzier atau seorang pakar sekelas Pak Guru Tarno, “Sim salabim jadi apa...plok... plok...plok...!”

SARLITO WIRAWAN SARWONO 
Guru Besar Fakultas Psikologi 
Universitas Indonesia    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar