Berbagi Pengetahuan

Blog ini dibuat sebagai kliping media.

Semoga bermanfaat

Rabu, 25 Januari 2012

Hermeneutika dalam Studi Tasawuf (3-habis)

Rabu, 25 Januari 2012 19:07 WIB
Oleh: Prof DR Nasaruddin Umar

Wahidur Rahman antara lain menyebut pemikir-pemikir modernis, seperti Sayyid Ahmad Khan dan Muhammad Abduh, telah mengusahakan agar Alquran berbicara tentang realitas.
 

Hanya saja apa yang mereka lakukan tidak lebih dari jawaban instan terhadap “kebutuhan-kebutuhan aktual masyarakat Muslim dalam rangka memelihara (solidaritas) mereka, atau pada saat mereka menganggap Islam membutuhkan pertahanan dari serangan (luar)”. Konsekuensinya, pemikiran yang mereka ajukan lebih cenderung bersifat apologetis karena tidak berangkat dari dasar-dasar metodologis yang adekuat untuk disebut sebagai sebuah hermeneutika.

Masuknya beberapa gagasan dan metode ilmiah ke dalam wacana penafsiran Alquran bukan tanpa masalah, terutama jika dikaitkan dengan beberapa keberatan menyangkut dipaksakannya berbagai unsur asing ke dalam Alquran, seperti yang sering dicurigai oleh Fazlur Rahman.
 

Tidak aneh jika muncul tuduhan bahwa mayoritas modernis Muslim menafsirkan Alquran bukan demi memahami dan menyingkap makna sejati, tapi untuk mengejar tujuan-tujuan ekstra Qurani yang antara lain demi menghilangkan kesenjangan intelektual antara komunitas Muslim dan penemuan-penemuan Barat.
Persoalan semacam ini bagaimanapun, merupakan dilema intelektual tersendiri yang harus dipecahkan oleh para pemikir Muslim. Di satu sisi, mereka berkewajiban menafsirkan Alquran sesuai dengan tuntutan ilmiah dan obyektif, sementara pada sisi lain, terdapat kepentingan moral untuk menjelaskan Alquran sejalan dengan kebutuhan umat Islam saat ini. Dua sisi tersebut memang tidak serta-merta kontradiktif dan saling menafikan, melainkan bagaikan dua sisi mata uang yang saling melengkapi. 

Kesadaran akan hadirnya realitas kekinian dan pemenuhan standar ilmiah dalam kegiatan penafsiran Al-Quran pada saat yang bersamaan akhirnya dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan yang dikembangkan oleh pemikir Muslim kontemporer, seperti Arkoun, Fazlur Rahman, Farid Esack, Hassan Hanafi, Amina Wadud-Muhsin, Asghar Ali Engineer, dan belakangan oleh AbĂ» Zayd. Minat para penulis tersebut dapat dianggap mewakili arus ketidakpuasan terhadap hermenutika tradisional Al-Quran yang bagaimanapun cenderung ahistoris dan tidak kontekstual lagi.

Dalam studi tasawuf ke dalam, pendekatan hermeneutika terungkap terutama setelah karya-karya Ibnu Arabi mendapatkan perhatian khusus oleh ilmuwan barat, semisal Henry Corbin, William C Chittick, dan James Winston Morris. 
 

Kehadiran sufi terkemuka Ibnu Arabi dalam berbagai karyanya menunjukkan kepada kita bagaimana kedalaman dan keterampilannya memahami teks-teks suci dengan menggunakan pendekatan mirip hermeneutika. Para ilmuwan tersebut tidak bisa menyembuyikan ketakjubannya terhadap Ibnu Arabi dan sejumlah sufi lainnya. Sachiko Murata dan SH Nasr juga banyak sekali mengungkap karya-karya hermeunitis sejumlah sufi Muslim yang seolah-olah menyimpulkan bahwa tasawuf adalah aktualisasi kebenaran sejati dari kitab suci.
 

Artikulasi pemahaman kitab suci melalui pendekatan hermeneutika semakin mendapatkan tempat dari kalangan ilmuwan tasawuf. Terakhir ada kecenderungan yang perlu dicermati dengan penggunaan metode ini ialah adanya kedekatan dengan karya-karya spiritual-tasawuf dari agama lain.
 

Kini bermunculan karya-karya yang sengaja atau tidak sengaja, ingin mendekatkan antara mistisisme Islam (tasawuf) dengan mistisisme Yahudi (kabbalah), dan mistisisme kepercayaan lain seperti Hindu, Buddha, Konghucu, dan Taoisme. Hal ini dapat dilihat dari praktik meditasi yang menggunakan sejumlah ajaran spiritual sebagai metode yang diterapkan dalam mencapai puncak relaksasi.

Ada kecenderungan, generasi mencari aspek-aspek spiritual dari ajaran agama dan menafikan aspek-aspek selainnya. Tentu saja hal ini menarik untuk dicermati karena dalam Islam, tasawuf adalah kelanjutan dari anak tangga yang ada di bawahnya berupa ajaran fikih, syariah, dan akhlak. Antara satu dengan lainnya tidak bisa dipsisahkan.
 Man tashawwaf wa lam yatafaqqaha faqad tafassak, wa man tafaqqaha wa lam yatashawwafa faqad tazandaq, wa man jama’a baina huma faqad tahaqqaqah (Barangsiapa yang bertasawuf tanpa berfikih maka ia fasik. Barangsiapa yang berfikih tanpa bertasawuf maka ia zindiq, dan barangsiapa yang menggabungkan keduanya maka ia mencapai puncak kebenaran).
Redaktur: Chairul Akhmad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar