Berbagi Pengetahuan

Blog ini dibuat sebagai kliping media.

Semoga bermanfaat

Kamis, 28 Juni 2012

Drama Kosmik Menurut Al-Kasyani (1)



Kamis, 28 Juni 2012, 09:16 WIB
Blogspot.com
  
Drama Kosmik Menurut Al-Kasyani (1)
Ilustrasi

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Drama kosmik yang menceritakan jatuhnya nenek moyang kita Adam dari surga kenikmatan ke bumi penderitaan melibatkan beberapa aktor penting, yaitu Iblis, Hawa, malaikat. 

Selama ini, kita secara lugu memahami drama ini sebagai peristiwa faktual sebagaimana ditemukan di dalam kitab-kitab tafsir Sunni yang diakui (mu'tabarah). Di sana ada Iblis sebagai aktor paling berpengaruh menyebabkan pe ristiwa ini terjadi. 

Paling jauh kita dipahamkan bahwa drama kosmik ini pelajaran penting bagi anak cucu Adam agar jangan jatuh di lubang yang sama. Jika ingin kembali ke surga yang pernah dicicipi nenek moyang kita itu, maka kita harus mengikuti ajaran syariah Islam yang berisi tuntunan, perintah, dan larangan.

Abd Razzaq Al-Kasyani, seorang ulama Isy’ari dalam kitab Al-Ta'wilat-nya berpendapat lain. Ia mengatakan bahwa drama kosmik itu lebih bermakna metaforis. Para aktor yang terlibat di dalam kisah tersebut seolah bukan figur, tetapi lebih bermakna simbolis, sehingga drama tersebut lebih merupakan mitos daripada sebuah kisah sebagaimana dipahami selama ini.

Kita bisa berbeda pendapat atau bahkan menentang pendapat Kasyani, tetapi ulasan-ulasannya menarik untuk disimak. Sebagai seorang ulama yang dekat ke Syiah, ia tidak menafikan makna eksoterik sebuah teks suci Alquran tetapi juga mengakui adanya makna esoterik di balik setiap teks, apa lagi teks-teks yang bersifat penceritaan.
Sebagaimana umumnya ulama Syiah dan sufi, mengakui bahwa setiap nama-nama di dalam Alquran termasuk mutasyabihat yang memiliki makna lebih dari satu.

Menarut Kasyani, Adam dikonotasikan dengan hati (qalb), Hawa dikonotasikan dengan jiwa (nafs), dan Iblis sebagai aktor penting dalam drama kosmik sesungguhnya bukan figur tetapi dikonotasikannya dengan wahm yang diterjemahkan oleh Murata dengan intuisi indrawi. 

Adam dikonotasikan dengan kalbu atau hati karena ia telah diajarkan nama-nama semuanya (wa 'allama Adam al-asma' kullaha). Dengan demikian, Adam menjadi maklum akan ciri dan identitas benda-benda serta manfaat, risiko, dan bahayanya.

Hawa dikonotasikan jiwa atau nafsu, sehingga sering menjadi kata majemuk hawa-nafsu. Hawa sendiri secara harfiah berarti "kecenderungan merah pada warna hitam", karena itu nafs tidak terpisahkan dengan badan yang gelap dan hawa adalah warna yang didominasi oleh warna hitam. 

Bandingkan dengan Adam yang secara harfiah berarti "terbubuhi warna hitam". Kata adam seakar kata dengan udma berarti cokelat atau warna yang cenderung pada warna hitam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar