Berbagi Pengetahuan

Blog ini dibuat sebagai kliping media.

Semoga bermanfaat

Selasa, 28 Februari 2012

Belajar dari Kaspiah



Syukri Rahmatullah
Selasa, 28 Februari 2012 - 16:58 wib

PEMERINTAH mungkin sudah lupa dengan seorang kakek bernama Gondo (74), warga desa Denanyar, Kecamatan Jombang, Jawa Timur. Pria tua ini dibawa pulang oleh aparat desa dalam kondisi tidak bernyawa, 7 tahun lalu (tahun 2005).

Dia tewas setelah mengantre 3 jam dan berdesak-desakan berebut kursi antrean. Gondo pingsan setelah dapat tempat duduk, saat tengah menunggu panggilan petugas untuk mendapatkan uang Bantuan Langsung Tunai Rp200 ribu.

Ada lagi Kasipah (80), seorang nenek yang tewas karena keletihan mengantre di kantor Desa Karangsari, Kecamatan Sempu, 17 Oktober tahun 2005.. Ia ini meninggal dalam perjalanan ke puskesmas setelah ambruk saat berdesak-desakan bersama ratusan warga. Sebelum meninggal korban sempat pingsan beberapa lama di tengah kerumunan.

Beda lagi, Daliyem Kirno (75), seorang janda miskin di Bangunrejo, RT 53/RW 12 Kricak, Kecamatan Tegalrejo, Kota Yogyakarta. Dia meninggal karena merasa tidak diperlakukan adil, tidak termasuk menerima BLT. Ada lagi Saining (66), warga Bojonegoro Jawa Timur. Tak hanya mereka berempat, banyak masyarakat lainnya yang justru meninggal dunia atau sakit karena BLT.

Tampaknya peristiwa ini akan terulang lagi. Karena pemerintah saat ini tengah merancang besaran Bantuan Langsung Tunai yang akan diberikan kepada masyarakat miskin, kisarannya Rp100, akan diberikan kepada masyarakat miskin selama 8 bulan ke depan.

Kebijakan BLT ini diambil, karena pemerintah akan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk kesekian kalinya pada April mendatang kali ini kenaikannya pada kisaran Rp500-Rp2,000. Tercatat, ini merupakan kenaikan BBM yang keempat selama SBY menjadi Presiden.

Pemerintahan SBY pertama kali menaikkan harga BBM pada 1 Maret 2005. Saat itu BBM premium naik dari harga Rp1.810 menjadi Rp2.400. Alasannya harga minyak dunia naik USD120  per barel. Tapi, meski sebulan kemudian harga minyak stabil. Harga BBM di Indonesia tidak turun.

Selang beberapa bulan, BBM naik lagi. Tepatnya  pada 1 Oktober 2005. Premium dari 2.400 menjadi Rp4.500. Kenaikan yang ketiga terjadi pada Mei 2008, harga premium naik dari Rp4.500 menjadi Rp6.000.

Menjelang pemilu, 1 Desember 2008 pemerintah menurunkan harga BBM dari Rp6.000 menjadi Rp5.500. 15 hari kemudian, turun lagi dari Rp5500 menjadi Rp5.000. Lima bulan menjelang Pilpres pada 2009 lalu, BBM kembali turun menjadi Rp4.500. Penurunan ini tidak kembali seperti semula pertama kali SBY menaikkan harga BBM Rp1.810.

Pemerintah beralasan kenaikan BBM ini dilakukan untuk menghemat anggaran pemerintah. Karena subsidi, menurut pemerintah, membebani APBN. Dengan opsi kenaikan Rp 1.000 bisa menghemat Rp 21 triliun, opsi Rp 2.000 menjadi jadi Rp42 triliun.

Yang menjadi pertanyaannya menghemat anggaran untuk apa? kesehatan, pendidikan gratis?. Toh masyarakat juga tidak merasakan dampaknya. Hingga kini biaya kesehatan masih sangat mahal, pendidikan gratis untuk bulanan, tapi tetap saja pungutan sekolah untuk lain-lain lebih besar.

Di satu sisi pemerintah mengencangkan ikat pinggang masyarakat dengan menaikkan BBM, tapi di sisi lain korupsi masih marak di kementerian-kementerian. Lihat saja kasus korupsi di dua kementerian, Kemenpora dan Kemenakertrans. Belum lagi di perpajakan, uang hasil mengutip pajak masyarakat dikorupsi untuk kepentingan pribadi atau sekelompok kecil orang.

Seharusnya pemerintah lebih arif dalam mengeluarkan kebijakan. Tutupi dulu segala kebocoran anggaran dengan memberantas korupsi di setiap level pemerintahan, berikan sanksi yang keras. Masyarakat pun akan lebih lega, jika pemerintah ada upaya mengatasi kebocoran di tempat lain. Bukan hanya memberikan solusi, rakyat yang terus-menerus mengencangkan ikat pinggang.
http://suar.okezone.com/read/2012/02/28/59/584100/belajar-dari-kaspiah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar