Berbagi Pengetahuan

Blog ini dibuat sebagai kliping media.

Semoga bermanfaat

Senin, 27 Februari 2012

Masih Menuai Kontroversi Publikasi Karya Ilmiah Sebaiknya Ditunda?

| Inggried Dwi Wedhaswary | Selasa, 14 Februari 2012 | 09:45 WIB

www.dikti.go.id Surat Edaran Dikti yang memuat ketentuan bagi mahasiswa program S-1, S-2, dan S-3 untuk memuat karya ilmiahnya di jurnal ilmiah. Ketentuan ini berlaku bagi lulusan setelah Agustus 2012.

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Kebijakan yang mewajibkan publikasi karya ilmiah mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 pada jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan sebaiknya ditunda. Hal itu dikatakan Staf Ahli Bidang Pendidikan Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Budi Wignyosukarto.

Sesuai surat edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kebijakan ini akan efektif diberlakukan bagi mahasiswa yang akan lulus setelah Agustus 2012.

"Meskipun kebijakan Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Tinggi (Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) itu untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia, belum saatnya diberlakukan," kata Budi.

Menurutnya, pemerintah sebaiknya terlebih dahulu mempersiapkan dengan baik sarana dan prasarana yang diperlukan untuk menjaga kualitas dan kredibilitas sebuah karya ilmiah sebelum dipublikasikan secara luas.

"Misalnya, jurnal ilmiah harus ada aturan seleksinya, sehingga tidak semuanya bisa masuk. Hal itu membutuhkan proses, sarana, dan prasarana yang memadai," kata guru besar Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.

Ia mengungkapkan, saat ini sudah ada aturan untuk menjaga kualitas dan kredibilitas karya ilmiah, yakni Permendiknas Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi. Peraturan ini dikeluarkan untuk mencegah terjadinya penjiplakan karya ilmiah milik orang lain. Namun, menurut Budi, regulasi itu belum dilaksanakan dengan baik. Padahal, di dalamnya tercantum berbagai sanksi jika seorang mahasiswa melakukan plagiat karya ilmiah milik orang lain.

Sanksi itu di antaranya teguran, peringatan tertulis, penundaan pemberian sebagian hak mahasiswa, pembatalan nilai mata kuliah, pemberhentian tidak hormat, dan pembatalan ijazah.

"Aturan itu saja belum dijalankan dengan baik oleh kampus. Jika nanti karya ilmiah yang menjadi syarat kelulusan itu ditulis sembarangan dan masuk jurnal akan banyak kerugiannya," katanya.

Selain itu, untuk menerbitkan jurnal ilmiah wajib memberikan laporan ke Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sehingga jurnal yang akan diterbitkan mendapatkan International Standard Book Number (ISBN).

"Ada syarat tertentu untuk menerbitkan jurnal ilmiah dan tidak mudah. Misalnya, membuat jurnal ilmiah di UGM, penulisnya harus dari perguruan tinggi lain. Jika tidak, isi jurnal tersebut dianggap tidak berkualitas," katanya.

Saat ini, ungkap Budi, jurnal ilmiah yang ada baru mencapai 2.000 buah. "Jika membuat jurnal hanya untuk pamer karya ilmiah, maka akan hilang maknanya," ujar Budi.

Bisa hambat kelulusan

Secara terpisah, meski hasil sidang pleno Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) menyatakan menolak kebijakan Ditjen Dikti, Sekretaris APTISI Jawa Tengah Prof Y Sutomo mengatakan, perguruan tinggi swasta tetap mendukung pengembangan jurnal ilmiah mahasiswa di kalangan perguruan tinggi. Akan tetapi, katanya, hendaknya kebijakan tersebut tidak dijadikan sebagai syarat kelulusan yang bisa memberatkan mahasiswa.

"Berdasarkan Rapat Pengurus Pusat pleno APTISI di Padang itu diputuskan, kami keberatan jika kewajiban mempublikasikan artikel dalam jurnal ilmiah itu menjadi syarat kelulusan bagi calon sarjana dan magister di perguruan tinggi," katanya.

Ia menilai, media publikasi bagi karya-karya ilmiah mahasiswa itu belum banyak dimiliki perguruan tinggi di Indonesia sehingga berimplikasi menyulitkan mahasiswa yang akan lulus karena terganjal keharusan publikasi artikel.

Belum lagi, kata dia, jurnal ilmiah yang telah terakreditasi Dikti selama ini juga sedikit dan untuk mendapatkan akreditasi juga sulit sehingga mahasiswa S-2 akan kesulitan untuk mempublikasikan di jurnal terakreditasi.

"Jika diwajibkan, mahasiswa harus menunggu dulu sampai artikelnya dipublikasikan dalam jurnal ilmiah untuk lulus. Padahal, jurnal ilmiah sekarang ini masih sedikit. Kelulusan mereka akan terhambat," kata Sutomo.

Sementara itu, Direktur Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Ditjen Dikti Prof Supriadi Rustad secara terpisah menjelaskan, kewajiban publikasi artikel dalam jurnal ilmiah tidak akan menyulitkan mereka dalam mencapai kelulusan.

"Artikel yang dibuat oleh mahasiswa ya berkaitan dengan tema skripsi yang mereka buat, apa susahnya? Hanya meringkas untuk intisarinya. Jurnal untuk mempublikasikannya juga tidak diharuskan terakreditasi," katanya.

Selain itu, kata Guru Besar Fisika Universitas Negeri Semarang itu, proses seleksi pemuatan artikel diserahkan pula kepada setiap perguruan tinggi bersangkutan sehingga bisa menyesuaikan kondisi dan potensi masing-masing.
http://edukasi.kompas.com/read/2012/02/14/09455696/Publikasi.Karya.Ilmiah.Sebaiknya.Ditunda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar