Pada seminar tersebut seorang dosen,Sunari, mengusulkan agar pemerintah menyediakan anggaran pengadaan perangkat penguburan orang mati di setiap kantor pemerintah. Usulnya,di setiap kantor pemerintah dan lembaga negara ditempatkan replika keranda, batu nisan, payung pengantar mayat, kain kafan, dan gambar pocong (mayat yang sudah dikafani) yang sedang dimasukkan ke kuburan. Untuk apa? Agar para pejabat dan abdi negara selalu ingat, pada suatu saat mereka akan masuk ke kuburan, mati berkalang tanah, sendirian tanpa bisa membawa atau menikmati harta-harta hasil korupsi yang dilakukannya.
Dengan begitu,menurut Sunari, diharapkan para pejabat dan abdi negara takut melakukan korupsi.Tetapi, ada yang nyeletuk, “Podho wae, mengko kuburane dikorupsi sisan (sama saja nanti kuburannya juga dikorupsi)” Sekarang ini distrust (ketidakpercayaan) terhadap para pejabat dan lembaga negara sudah begitu meluas. Di manamana masyarakat mengeluhkan korupsi, suap-menyuap, kolusi, kesewenang-wenangan, jual beli hukum yang bukan hanya tak berubah dari yang sudah- sudah, melainkan dirasakan menjadi lebih parah. Celetukan peserta seminar tersebut mengekspresikan penilaian dan perasaan masyarakat bahwa apa pun bisa dikorupsi di negeri ini.
Seumpama pun kita bersepakat untuk memasukkan di dalam APBN ada pos anggaran pengadaan replika kuburan, keranda, dan pocong untuk membuat takut melakukan korupsi, yang terjadi barang-barang itu pun bisa dikorupsi. Bentuk korupsinya bisa dimulai dengan penyediaan dana 6% sampai 7 % dari proyek yang harus disiapkan perusahaan yang diproyeksikan menggarap proyek itu kalau berhasil masuk ke dalam APBN. Kasus yang sekarang menimpa Wa Ode Nurhayati tentang permainan di Banggar DPR dalam penentuan proyek-proyek yang akan masuk ke APBN bisa disebut sebagai bukti kunci tentang korupsi pencantuman satu proyek ke dalam APBN.
Saat proyek dilaksanakan pun korupsi bisa dilakukan dengan mark up atau kick back anggaran, dan setelah replikareplika itu jadi nanti bisa dibawa pulang dan dijual satu persatu sampai habis. Jadi berbagai jenis replika kuburan untuk membuat takut korupsi itu takkan ditakuti, melainkan malahan bisa dijadikan objek korupsi baru. Proyek replika kuburan pun terancam untuk menjadi ajang korupsi. Para koruptor memang sudah “mati rasa” untuk takut pada gambaran bahwa dirinya pada suatu saat akan masuk ke kuburan. Ihwal merajalelanya korupsi dan meluasnya distrust terhadap penyelenggara negara yang saya gambarkan itu menyeruak di forum seminar tentang
“Pancasila dan UUD 1945 sebagai Solusi Persoalan Bangsa” di Universitas Merdeka Malang. Sebagai pernak-pernik pertanyaan, narasumber maupun para penanya dalam seminar itu banyak yang memulai dengan pertanyaan, apakah Pancasila dan UUD 1945 masih relevan pada saat ini? Pertanyaan ini muncul karena nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 banyak diabaikan. Korupsi, kesewenangwenangan, sikap hedonistis, dan perilaku koruptif lainnya yang terjadi secara massif sekarang ini tak pelak bukan hanya merupakan pengabaian, melainkan lebih dari itu atau pengkhianatan terhadap Pancasila dan UUD 1945.
Kalau Pancasila dan UUD 1945 masih relevan, mengapa semua perilaku koruptif masih banyak terjadi di kalangan kita? Rektor Universitas Merdeka, Anwar Sanusi,mengemukakan beredarnya pelesetan Pancasila di tengah-tengah masyarakat yang menggambarkan betapa nilai-nilai Pancasila banyak dikhianati dan dimanipulasi demi korupsi oleh para penyelenggara negara. Ketuhanan Yang Maha Esa dipelesetkan menjadi keuangan yang maha kuasa, kemanusiaan yang adil dan beradab dipelesetkan menjadi kebinatangan yang sadis dan biadab, persatuan Indonesia dipelesetkan menjadi perkorupsian di Indonesia,dan sebagainya.
Lima penanggap pada seminar itu juga menyoroti tajam perilaku koruptif, tumpulnya penegakan hukum, konflik horizontal, dan sebagainya. Pertanyaannya, lagi-lagi, apakah Pancasila dan UUD 1945 itu masih milik kita? Apakah Pancasila dan UUD 1945 itu masih relevan untuk dijadikan solusi atas berbagai persoalan yang ada di depan mata? Tentu saja jawaban filosofis dan normatif bisa saya jelaskan dengan gamblang. Pancasila dan UUD 1945 tentu masih milik kita dan masih sangat relevan sebagai solusi atas berbagai masalah bangsa.
Tak ada yang bisa menunjukkan ada bagian yang salah dari Pancasila sebagai dasar ideologi negara dengan nilai-nilai fundamentalnya. Siapa yang bisa menunjukkan bagian yang salah dari UUD 1945 sebagai landasan struktural? Bagian mana dari Pancasila dan UUD 1945 itu yang membuka peluang terjadi korupsi dan kesewenangwenangan? Tidak ada. Jadi persoalannya bukan terletak pada Pancasila dan UUD 1945 sebagai nilai-nilai fundamental dan struktural, melainkan terletak pada nilainilai instrumental dan day to day governance.Yang diperlukan adalah strong leadership atau pemerintahan yang kuat, tetapi bukan pemerintahan yang otoriter.
Tentu berbeda antara pemerintahan yang kuat dan otoriter; kuat bersumber dari kepentingan rakyat, otoriter bersumber dari keserakahan personal. Tentu kita tak bisa sepenuhnya pesimistis seakan-akan dunia ini gelap gulita. Faktanya, sudah ada beberapa kemajuan yang bisa membangun optimisme asal kita mau bekerja secara sungguh-sungguh.
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar