Berbagi Pengetahuan

Blog ini dibuat sebagai kliping media.

Semoga bermanfaat

Jumat, 03 Februari 2012

Kuburan pun Bisa Dikorupsi


PDF Print
Saturday, 04 February 2012
Ada tanya jawab nakal  dalam seminar di Universitas  Merdeka, Malang,  yang saya hadiri pada Kamis,  2 Februari lalu.


Pada seminar  tersebut seorang dosen,Sunari,  mengusulkan agar pemerintah  menyediakan anggaran  pengadaan perangkat penguburan  orang mati di setiap  kantor pemerintah.  Usulnya,di setiap kantor pemerintah  dan lembaga negara  ditempatkan replika keranda,  batu nisan, payung pengantar  mayat, kain kafan, dan gambar  pocong (mayat yang sudah dikafani)  yang sedang dimasukkan  ke kuburan. Untuk apa?  Agar para pejabat dan abdi negara  selalu ingat, pada suatu  saat mereka akan masuk ke kuburan,  mati berkalang tanah,  sendirian tanpa bisa membawa  atau menikmati harta-harta hasil  korupsi yang dilakukannya.

Dengan begitu,menurut Sunari,  diharapkan para pejabat  dan abdi negara takut melakukan  korupsi.Tetapi, ada yang  nyeletuk, “Podho wae, mengko  kuburane dikorupsi sisan (sama  saja nanti kuburannya juga dikorupsi)”  Sekarang ini distrust (ketidakpercayaan)  terhadap para  pejabat dan lembaga negara  sudah begitu meluas. Di manamana  masyarakat mengeluhkan  korupsi, suap-menyuap,  kolusi, kesewenang-wenangan,  jual beli hukum yang bukan  hanya tak berubah dari yang sudah-  sudah, melainkan dirasakan  menjadi lebih parah.  Celetukan peserta seminar  tersebut mengekspresikan penilaian  dan perasaan masyarakat  bahwa apa pun bisa dikorupsi  di negeri ini.

Seumpama  pun kita bersepakat untuk memasukkan  di dalam APBN ada  pos anggaran pengadaan replika  kuburan, keranda, dan  pocong untuk membuat takut  melakukan korupsi, yang terjadi  barang-barang itu pun bisa  dikorupsi. Bentuk korupsinya bisa dimulai  dengan penyediaan dana  6% sampai 7 % dari proyek yang  harus disiapkan perusahaan  yang diproyeksikan menggarap  proyek itu kalau berhasil  masuk ke dalam APBN. Kasus  yang sekarang menimpa Wa  Ode Nurhayati tentang permainan  di Banggar DPR dalam  penentuan proyek-proyek yang  akan masuk ke APBN bisa disebut  sebagai bukti kunci tentang  korupsi pencantuman satu  proyek ke dalam APBN.

Saat proyek dilaksanakan  pun korupsi bisa dilakukan  dengan mark up atau kick back  anggaran, dan setelah replikareplika  itu jadi nanti bisa dibawa  pulang dan dijual satu  persatu sampai habis.  Jadi berbagai jenis replika  kuburan untuk membuat takut  korupsi itu takkan ditakuti,  melainkan malahan bisa dijadikan  objek korupsi baru.  Proyek replika kuburan pun  terancam untuk menjadi ajang  korupsi. Para koruptor  memang sudah “mati rasa”  untuk takut pada gambaran  bahwa dirinya pada suatu saat  akan masuk ke kuburan.  Ihwal merajalelanya korupsi  dan meluasnya distrust terhadap  penyelenggara negara  yang saya gambarkan itu menyeruak  di forum seminar tentang

“Pancasila dan UUD 1945  sebagai Solusi Persoalan Bangsa”  di Universitas Merdeka  Malang.  Sebagai pernak-pernik pertanyaan,  narasumber maupun  para penanya dalam seminar  itu banyak yang memulai dengan  pertanyaan, apakah Pancasila  dan UUD 1945 masih relevan  pada saat ini? Pertanyaan  ini muncul karena nilai-nilai  Pancasila dan UUD 1945  banyak diabaikan.  Korupsi, kesewenangwenangan,  sikap hedonistis,  dan perilaku koruptif lainnya  yang terjadi secara massif  sekarang ini tak pelak bukan  hanya merupakan pengabaian,  melainkan lebih dari itu atau  pengkhianatan terhadap Pancasila  dan UUD 1945.

Kalau  Pancasila dan UUD 1945 masih  relevan, mengapa semua perilaku  koruptif masih banyak terjadi  di kalangan kita?  Rektor Universitas Merdeka,  Anwar Sanusi,mengemukakan  beredarnya pelesetan Pancasila  di tengah-tengah masyarakat  yang menggambarkan  betapa nilai-nilai Pancasila banyak  dikhianati dan dimanipulasi  demi korupsi oleh para penyelenggara  negara.  Ketuhanan Yang Maha Esa  dipelesetkan menjadi keuangan  yang maha kuasa, kemanusiaan  yang adil dan beradab  dipelesetkan menjadi kebinatangan  yang sadis dan biadab,  persatuan Indonesia dipelesetkan  menjadi perkorupsian di  Indonesia,dan sebagainya.

Lima penanggap pada seminar  itu juga menyoroti tajam  perilaku koruptif, tumpulnya  penegakan hukum, konflik  horizontal, dan sebagainya.  Pertanyaannya, lagi-lagi, apakah  Pancasila dan UUD 1945  itu masih milik kita? Apakah  Pancasila dan UUD 1945 itu  masih relevan untuk dijadikan  solusi atas berbagai persoalan  yang ada di depan mata?  Tentu saja jawaban filosofis  dan normatif bisa saya jelaskan  dengan gamblang. Pancasila  dan UUD 1945 tentu masih milik  kita dan masih sangat relevan  sebagai solusi atas berbagai  masalah bangsa.

Tak ada  yang bisa menunjukkan ada  bagian yang salah dari Pancasila  sebagai dasar ideologi negara  dengan nilai-nilai fundamentalnya.  Siapa yang bisa menunjukkan  bagian yang salah dari  UUD 1945 sebagai landasan  struktural? Bagian mana dari  Pancasila dan UUD 1945 itu  yang membuka peluang terjadi  korupsi dan kesewenangwenangan?  Tidak ada.  Jadi persoalannya bukan  terletak pada Pancasila dan  UUD 1945 sebagai nilai-nilai  fundamental dan struktural,  melainkan terletak pada nilainilai  instrumental dan day to  day governance.Yang diperlukan  adalah strong leadership  atau pemerintahan yang kuat,  tetapi bukan pemerintahan  yang otoriter.

Tentu berbeda  antara pemerintahan yang  kuat dan otoriter; kuat bersumber  dari kepentingan rakyat,  otoriter bersumber dari keserakahan  personal.  Tentu kita tak bisa sepenuhnya  pesimistis seakan-akan dunia  ini gelap gulita. Faktanya,  sudah ada beberapa kemajuan  yang bisa membangun optimisme  asal kita mau bekerja secara  sungguh-sungguh. 

MOH  MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/466618/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar